Sabtu, 08 Februari 2014

Eksistensi Orang Minang

Orang Minang Di Bangka: 
Sebuah Transformasi Peran
by: Yuliarni
(Andalas University)


Merantau, adalah sebutan yang tepat untuk orang Minang sebab dalam faktanya dapat dilihat hampir ada di setiap penjuru kawasan Indonesia. Kegiatan tersebut tentu saja tidak dapat terlepas dari berbagai faktor kepentingan. Definisi Merantau itu sendiri dalam kaitannya dengan orang Minang adalah tradisi untuk meninggalkan kampung halaman bagi setiap laki-laki remaja dan dewasa Minangkabau. Tujuan pokok adalah untuk mencari penghidupan di tempat lain. Faktor utama merantau adalah ekonomi, kemudian diikuti oleh pendidikan, pengalaman dan mencari kerja.
Eksistensi orang Minang yang hampir ada di seluruh penjuru sudut Indonesia mampu membuat orang Minang dikenal secara luas di mata Indonesia bahkan dunia. Minang yang identik dengan Padang pada akhirnya membuat orang-orang di salah satu daerah rantauannya yaitu Pualu Bangka kerap menyebut dengan sebutan orang Padang. Hal itu bukan bermaksud apa-apa melainkan karena ketidaktahuan semata terhadap persoalan penyebutan. Jadi walaupun seorang Minang yang ditemui berasal dari daerah Batu Sangkar atau daerah-daerah lainnya dari Sumatera Barat, tetap saja disebut orang Padang.
            Pulau Bangka sebagai salah satu daerah yang menampung berbagai etnis termasuk salah satunya etnis Minang. Dalam perkembangannya yang selama ini nampak cukup menjalin hubungan mesra dengan etnis-etnis lain terutama etnis Tionghoa. Hal itu berhubungan dengan jumlah etnis Tionghoa yang mendominasi jika dibandingkan dengan etnis-etnis lain yang ada di Bangka seperti Bugis, Madura, Jawa, serta termasuklah Minang. Namun dengan keminoritasan orang Minang yang ada di Bangka, tidak menutup jalan untuk orang Minang hidup rukun dengan penduduk setempat. Pernikahan silang antara orang Minang dengan penduduk pribumi pun kerap terjadi. Salah satu contohnya yaitu pak Da’am yang merupakan orang Minang menikah dengan gadis pribumi beberapa tahun silam. Pak Da’am sekarang bertempat tinggal di Kecamatan Kelapa Bangka Barat tidak jauh dari rumah tempat saya tinggal. Dengan membuka usaha rumah makan walaupun kecil-kecilan, pak Da’am mampu menghidupi keluarganya.
            Cara beradaptasi dengan penduduk di Bangka tidak hanya ditujukan melalui hubungan baik, namun juga melalui bahasa. Orang Minang yang merantau di Bangka walaupun masih ada yang menggunakan bahasa Indonesia, namun sebagian telah menggunakan bahasa asli daerah Bangka. Demikianlah muaranya hingga tak jarang terlihat dalam sekumpulan remaja yang saling bercengkrama di dalamnya terdapat etnis Melayu, etnis Tionghoa, Minang bahkan Jawa. Hal itu juga mencerminkan bahwa orang Minang di Bangka selain menjaga hubungan baik dengan penduduk setempat juga membina hubungan baik dengan pendatang lainnya.
            Gambaran orang Minang di Bangka seperti yang dijelaskan di atas merupakan fenomena sosial masa kini. Namun jauh sebelum itu, jika ditela’ah berdasarkan legenda cerita Bangka serta bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa orang Minang telah lama mengenal Bangka. Selain daripada itu, peran orang Minang di Bangka tidaklah hanya sebatas sebagai guru di era kini atau pedagang rumah makan terkenal. Namun, tanpa mengurangi rasa hormat terhadap Pulau Bangka, tepatlah disebutkan di sini bahwa orang Minang pernah berjuang membangun Bangka.

Berawal Dari Misi Pertolongan Hingga Menegakkan Pemerintahan
(sebuah legenda dalam sejarah)
Dalam buku yang ditulis oleh Sutedjo Sujitno menjelaskan bahwa Bangka pada mulanya pernah di bawah kekuasaan beberapa kerajaan salah satunya kerajaan Majapahit. Namun, ketika Bangka tidak lagi di bawah kekuasaan Majapahit, terjadi penyerbuan oleh orang-orang kanibal yang disebut dengan Melukut. Orang-orang kanibal ini diketahui berasal dataran Sumatera yaitu tanah Batak. Pemimpin pasukan kanibal tersebut bernama Tidung. Beberapa daerah di Bangka diserang kemudian diporak-porandakan dan raja setempat beserta penduduknya dibunuh. Di antara daerah penyerangannya yaitu Menduk, Cempurak, desa Depak, Jeruk. Di tengah bencana kerusakan ini, datanglah seorang Arab bernama Tuan Syarah dengan kapalnya yang melintas Selat Bangka kemudian merapatkan kapalnya di pantai Bangka. Mendengar berita kekejaman raja Tidung yang menyerang penduduk Bangka maka inisiatif pun muncul untuk menyelamatkan rakyat Bangka. Akhirnya, Tuan Syarah pergi ke Johor dan menghadap sultan. Diperkirakan saat itu kesultanan Johor berpusat di Siak karena bersekutu dengan Minangkabau. Setelah Tuan Syarah menceritakan semua yang terjadi di Bangka, tergeraklah Sultan Johor untuk menolong. Dengan demikian Sultan Johor merundingkan perihal tersebut dengan Sultan Minangkabau. Kesepakatan untuk menolong Bangka akhirnya terselesaikan dengan melakukan pembagian kekuatan untuk melawan dan mengusir Raja Tidung dari Bangka. Sultan Johor memperkuat pasukan dari laut, sedangkan Sultan Minangkabau mengerahkan angkatan daratnya dipimpin oleh Hulubalang Alam Harimau Garang. Alhasil, dengan melewati pertempuran yang panjang serta memakan korban yang cukup banyak dari kedua belah pihak, Bangka menjadi aman kembali. Dengan kondisi Bangka yang vakum of power sebab penguasa setempat juga habis dibunuh oleh Raja Tidung maka Bangka langsung diambil alih oleh Johor dan Minangkabau. Sejak saat itulah terjadi percampuran adat Jawa dan Melayu. Pemimpin yang diangkat sebagai raja di Bangka saat itu adalah Tuan Syarah dengan pusat di Bangka Kota dan Alam Harimau Garang yang menjadi raja di Kota Beringin (Kota Waringin). Sejak berkuasanya kedua raja tersebut di Bangka, agama Islam pun mulai disebarkan dan Alam Harimau Garang mengembangkan tata tertib bermasyarakat sesuai ajaran Islam.
Sepanjang kepemimpinan hingga akhirnya Tuan Syarah yang merupakan utusan dari Johor meninggal dunia. Tuan Syarah kemudian dimakamkan di Bangka Kota. Makamnya oleh orang Bangka disebut sebagai Kramat Tuan Syarah. Sejak meninggalnya Tuan Syarah, Bangka sepenuhnya di bawah pemerintahan Minangkabau. Hal itu dikarenakan Sultan Johor tidak berminat untuk mengganti Tuan Syarah oleh sebab Bangka dinilai sebagai daerah yang kurang menguntungkan. Lama memerintah, tiba pula waktunya Alam Harimau Garang yang meninggal dunia. Sama halnya dengan Tuan Syarah, Alam Harimau Garng juga dimakamkan di pusat pemerintahan yang dijalankannya yaitu di Kota Beringin. Makam tersebut dikeramatkan juga oleh orang Bangka dengan sebutan Keramat Garang. Dengan meninggalnya Alam Harimau Garang, Bangka kembali tanpa penghuni sebab Sultan Minangkabau tidak berminat untuk mengganti Alam Harimau. Hal itu juga terkait dengan kondisi Bangka yang dianggap tidak memiliki penghasilan yang dapat dimanfaatkan. Sedangkan orang-orang dari Minang sebagai pengikut raja Alam Harimau Garang sebagian kembali ke tanah asal. Ada juga yang menetap di Bangka serta sisanya yang berasal dari suku lain (pesukuan) memutuskan untuk berkelana dengan kapal-kapalnya di perairan Bangka Belitung.
 Keadaan Bangka yang tanpa pemimpin memicu terjadinya perompakan oleh para bajak laut, kekacauan kembali terjadi. Para batin yang diutus dari daerah setempat tidak mampu menjalankan tugas untuk mengamankan Bangka. Dalam waktu yang lama Bangka dikuasai para perompak serta diwarnai kekacauan-kekacauan hingga akhirnya barulah pada abad ke-17 Bangka di bawah kesultanan Banten.

Kedatangan orang Minang pada abad ke-18 di Bangka
(Merantau di tanah nenek moyang)
Berawal dari kisah Dipati Anum pada masa kekuasaan Belanda. Dipati Anum merupakan salah satu anak dari Sultan Palembang. Pada dasarnya Dipati Anum adalah anak dari istri kedua sultan. Namun keinginan Anum untuk menggantikan kedudukan ayahnya yang telah wafat terlalu besar. Sehingga ketika pengangkatan sultan baru diberikan kepada saudara ayahnya, Anum berusaha melakukan perebutan tahta. Karena tindakannya, maka Dipati Anum dan pengikutnya diasingkan ke Bangka. Dipati Anum tinggal di Bangka sampai tahun 1717. Dari Bangka kemudian Anum beralih ke Lingga di Kepulauan Riau. Dengan mendapat tambahan pengikut akhirnya Anum yang mengetahui potensi timah di Bangka kembali ke lagi ke Bangka. Dengan upaya perompakan serta menjual timah walaupun dengan jumlah yang sedikit mampu menghidupinya dan pengikutnya. Diketahui oleh Palembang dan VOC, terjadi perang senjata antara Dipati dengan Palembang. Kekalahannya menyebabkan Dipati melarikan diri ke Jambi hingga kembali lagi ke Bangka pada tahun 1728 tepatnya di Koba. Dipati beserta pasukannya kembali diberantas oleh pasukan Palembang hingga Dipati melarikan diri ke Belitung. terusirnya Dipati membuat kondisi terkendali dan memungkinkan untuk meningkatkan produksi timah di Bangka. Terusirnya Dipati Anum pada tahun 1731 mendorong datangnya penduduk dari Minangkabau (Sumatera Barat), Riau, Pontianak (Kalimantan Barat), dan Jawa.
Pada masa itu, tidak disebutkan secara jelas tujuan kedatangan penduduk dari Minangkabau ke Bangka. Namun jika melihat kondisi Bangka pada tahun 1731, tentu sudah mengarah ke bidang perekonomian, semisal berdagang dan sebagainya. Intinya, kedatangan orang Minang pada era ini tidak sama seperti pada masa berkuasanya orang Minang di Bangka.

Kembali Memimpin dengan Ilmu
(from leader to teacher)
 Tahun 1880 berdiri dua sekolah pemerintah untuk pribumi di Bangka. Namun karena guru tidak mencukupi hingga sebagian dididik di Sumatera Barat dan cenderung dipengaruhi oleh aliran-aliran Islam di Sumatera Barat dan dari Aceh. Kemudian barulah pada tahun 1921 pendidikan untuk pribumi benar-benar ditingkatkan. Untuk guru, didatangkan dari Sumatera Barat yaitu sebanyak 27 guru. Di Bangka diadakan juga kursus sejenis pengkaderan untuk para guru kampung selama dua tahun.

Sekilas fakta di masa kini
(sebuah babak baru eksistensi Minang di Bangka)
            Berdasarkan sejarahnya, kawasan Bangka yang cukup kecil ternyata memiliki cerita masa silam yang luas. Campur tangan beberapa penguasa luar, hingga para bajak laut kemudian menjadikan ketidak transparannya tentang kebudayaan asli Bangka serta orang pertama yang ada di Bangka. Peran Palembang yang dirasakan besar untuk Bangka ternyata hanya pada bidang-bidang tertentu saja misalnya pada perekonomian. Dengan demikian terdapat beberapa fakta yang tidak dapat dipungkiri yaitu, walaupun Palembang yang merupakan daerah lebih dekat dengan Bangka namun tidak nampak baik itu dari sisi penyelamatan wilayah maupun penyebaran agama Islam. Artinya, justru agama Islam masuk ke Bangka berkat penyebaran yang dilakukan oleh Johor dan Minangkabau. Adanya bukti berupa makam keramat yang ada di Bangka Kota serta Kota Beringin dapat memberikan sumber sejarah bahwa pada masa lalu Bangka pernah dipimpin oleh Johor serta Minangkabau.
Latar belakang Bangka Belitung yang pernah di bawah pimpinan sultan Minangkabau, menjelaskan bahwa hubungan Bangka dengan Minang pada dasarnya telah terjalin dengan baik. Peran Minangkabau dalam politik di Bangka, telah memberikan sumbangsi bagi kemajuan Bangka sekarang.
Walaupun cerita mengenai Minangkabau pernah memimpin Bangka masih disebut sebagai sebuah legenda, namun hal tersebut tidak semata-mata dianggap sebagai legenda. Hal itu dikarenakan di Bangka masih ada pepatah yang melekat hingga sekarang dan sama dengan pepatah orang Minang yaitu “adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah”. Hal ini kemungkinan besar erat berhubungan dengan masa saat Bangka di bawah pemerintahan Alam Harimau Garang. Karena Alam Harimau Garang seperti yang diceritakan dalam cerita mengembangkan tata tertib bermasyarakat sesuai dengan ajaran Islam.
Peran orang Minang di Bangka ternyata tidak sebatas sumbangan politik saja, namun juga sumbangan ilmu yakni sebagai guru. Walaupun tidak diketahui dengan pasti hingga kapan pengiriman guru dari Sumatera Barat dilakukan apakah hanya pada tahun 1921 atau ada lagi. Namun yang jelas tidaklah berlebihan jika orang-orang Minangkabau disebut sebagai guru masa silam orang Bangka serta saudara dekat yang terlupakan.
Jika dahulunya peran orang Minang sebagai pemimpin daerah setempat di Bangka serta sebagai guru. Maka pada abad ke-21 sekarang, peran orang Minang di Bangka selain ada yang sebagai guru, namun lebih nampak pada kegiatan ekonomi salah satunya usaha rumah makan juga restoran. Kemajuan-kemajuan tersebut nampak melalui sosialfact yang ada. Rumah makan dengan nama “Bareh Solok, Rumah Makan Sederhana, Rumah Makan Salero Kito, sampai dengan Rumah Makan yang secara langsung menyebutkan bahwa rumah makan tersebut adalah Rumah Makan Padang”. Semua memberikan label tersendiri untuk menarik simpati para pembeli.
Itulah yang diketahui sebagian masyarakat mengenai orang Minang. Karena eratnya orang Minang dengan usaha rumah makan, hingga ada yang mengatakan bahwa “orang Minang walaupun ke bulan, pasti akan mendirikan rumah makan”. Istilah yang hiperbola namun pada dasarnya menggambarkan fakta sosial orang Minang terutama saat sekarang.
Minang bukan orang lain tetapi juga tuan rumah Bangka. Kemungkinan sebagian dari keturunan orang Bangka ada yang dari Minang. Hal itu dikarenakan pengikut Alam Harimau Garang dari Minang ada yang memutuskan menetap di Bangka. Fakta lainnya adalah belum diketahui secara pasti mengenai suku asli di Bangka, sepengetahuan penulis yang ada sekarang masih berupa cerita rakyat dan legenda. Bolehlah dikatakan kemungkinan terjadi missing link pada waktu yang tidak diketahui kapannya.
Fakta lainnya yaitu, Bangka merupakan wilayah yang tidak jelas diketahui siapa penghuni asli. Yang jelas, argumen sementara adalah Bangka dahulunya hanya sebuah kawasan kecil tanpa penghuni hingga akhirnya menjadi tempat yang ramai dikunjungi oleh berbagai etnis.

sebuah catatan: artikel ini diharapkan seobjektif mungkin, latar belakang penulis yang berasal dari Bangka dalam menuangkan tulisannya murni berdasarkan sumber serta wawancara terkait dan juga melalui pengamatan langsung. Selanjutnya, penulis masih menelusuri secara mendalam mengenai bukti keberadaan Orang Minang di Bangka demi mendapatkan fakta sebenarnya.


Sumber Rujukan:

Akhmad, Elvian dkk. 2005. Pangkal Pinang Kota Pangkal Kemenangan. Pangkal Pinang: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Pangkal Pinang.

Erman, Erwiza. 2009. Menguak Sejarah Timah Bangka Belitung. Yogyakarta: Ombak.

Heidhues , Mary F. Somers. 2008. Timah Bangka dan Lada Mentok; Peran Masyarakat Tionghoa dalam Pembangunan Pulau Bangka Abad XVIII s/d Abad XX. Jakarta: Yayasan Nabil.

Sujitno, Sutedjo. 2011. Legenda dalam Sejarah Bangka. Jakarta: Cempaka Publishing.






4 komentar:

  1. thnks jg boy pok la turut membantu interview.. :)
    sip..

    BalasHapus
  2. Salam kenal, Yuliarni. Tulisan e keren :) izin menggunakan sebagai referensi boleh? anyway, skrg tgh kuliah di Unand ok? oh aok, buku2 sejarah bgk yg jd referensi e kalo blh tau beli dmn ok? tgh butuh utk ngegawe thesis..mksh byk..

    BalasHapus
    Balasan
    1. salam kenal jg..thnks..
      btw maaf atas keterlambatan balas..karena baru tau..
      silahkan diambil sbg referensi..
      aok skrg kuliah di unand..btw syarifah S2 dimana? utk buku2 yg q peroleh tu bs di cari di perpus daerah PKP, trus sebagian ade di museum bangka tin winning muntok. sebagian lagi ade di toko buku..
      klo perlu info, q bersedia lah membtu, tapi iinbox ja,, soale klo inbok q bs cepat baca e dibanding di blog..

      Hapus