Jumat, 24 Januari 2014

pantun Bangka

Panton Bengkek
(Sastra Nona Van Bangka)
By: Yuliarni

Bagi yang mece ne moga-moga terhibur ok

Ne panton bukan sembarang panton
Panton asli karya anek bengkek
Khilaf salah kamei mintak ampon
Moga terhibur bi ayuk, abang, adik, bik, mang, nek, akek.


Gei kepasar ngesaic kerang,
Tengah bejelen digigit kerengge,
Dek jedei menghina ras urang,
Sege ras dek jamin masok surge.

Siang-siang ngejer anek ayem,
Ayem e larei ke belekeng umah urang,
Jen gelek igek mandik malem-malem
Kalok penyaket segele tulang.

Atok Urip nek melei rukok,
Rukok dibelei beng tuko Abek.
Daripada ngumpol duit kek ngerukok,
Along besumbang kek amal baek.

Ukan lubang men dek dalem,
Tapi sareng keben kerengge,
Ukan alam e yang kejem,
Tapi urang e yang dek kawa nyage. 



Men dek kawa gawei ke uten,
Duit masok jadei musel,
Men serakah lah masok ke beden,
Tanah nek muyang abis de juel.

Lempah daret pucok idet,
Melei pelempah dengen mutor,
Urang Bengkek pandei beradet,
Bier idup jadei terator.

Amang Sukri melei knalpot,
Knalpot lama besek suara,
Men TI lah sekapot-kapot,
Alam ancok urang e sara. 

Mutek sang pakai suyak,
Mutek di kebun Kampong Bareu,
Kalok adet lah de lupak,
Banyek urang dek tertei maleu.

Dari Pusuk ke kampong Sekak,
Singgeh sedenget di Beruas,
Banggalah kek budaya ikak,
Darei budaya ade ciri khas.

Punduk di kebun ade tige,
Kebun e ade di Bukit Kuang,
Budaya asli patot dijage,
Sebelum ilang diambik urang. 

Jangen langok beramel harta,
Sebab semua ya dek muet rugei,
Jangen sumbong men banyek harta,
Sebab harta dek dibawek matei.

Melei aek langsung de bukek,
Kena aos lah dek ketara,
Salah satu ciri khas Bangkek,
Urang e rukun banyek budaya.

Pantai Matras de Sungailiat,
Pantai e begus aek e biru,
Men ade urang melarat,
Jengen de tengong beic de bentu.

Sungguh la jeuh kampong tuik,
Saking jeuh e belenje ge sara,
Kampong kamei kampong yang unik,
China kek Islam duduk besama.

Mutor di jalen ngebut gale,
Untong nasib dek betumbur,
Mimang nakne Bengkek suat ne,
Utan gundul danau belembur.


Melei rusep di kampong Mancong,
Rusep de cecel kek pucok ubei,
Jangen takot belakei urang kampong,
Urang kampong banyek bec urei.

Dari Mancong nek ke Kelapa,
Ke Kelapa melei boneka,
Men idup ngelawan urang tua,
Pas di akhirat masok neraka.

Jangen takot berumah tanggek,
Sebeb rezekei de ator Tuhan,
Jangen takot macel ke Bangkek,
Sebeb urang e pandei bekawan.

Idup di dunia Cuma sementara,
Sebab ya pebenyek la amal ibadah,
Keneng semboyan nek muyang kita,
Adet besendi syara’, syara’ besendi kitabullah.

Jelen-jelen ke kampong tuik,
Jengen lupak mutek kedebik,
Panton kamei cukup disinik,
Laen waktu de sambung agik.


Senin, 13 Januari 2014

kisah petualangan dua sahabat

Memorie Van Memorie
By: Yuliarni

SEORANG sahabat dengan kegilaannya yang mampu membuat aku pun menjadi seorang yang gila. Gila bermimpi, gila untuk berharap, bahkan gila untuk pantang menyerah. Seorang teman yang mampu menguatkan aku dikala aku benar-benar jatuh. Dialah orang yang mampu membuatku untuk bermimpi setinggi-tingginya.
Teringat saat pertama aku mengenalnya di kampus kebanggaanku yaitu kampus Muhammadiyah Palembang. Saat itu aku dan teman-temanku sedang duduk, dan aku melihat sesosok wanita dengan rambut dikuncir agak ikal lewat didepan kami dan dengan keramahannya pun ia tidak segan-segan untuk menyapa kami. Saat pertama mengenalnya yang aku tangkap dari dia bahwa dia adalah seorang yang kasar karena penampilannya. Ternyata semakin aku dekat dengannya aku semakin mengenal karakternya. Aku dan dia sebenarnya berbeda kelas, namun karena kami memiliki banyak kesamaan akhirnya kamipun menjadi teman akrab bahkan sahabat yang tak terpisahkan. Tak jarang ia menginap di tempatku bahkan dia sempat tinggal lama di kosan ku karena masa kontrak rumah kontrakannya telah habis. Karena aku akrab dengan dia maka aku juga mengenalkan ia kepada teman-teman di samping kosanku. Mereka juga sudah saling kenal namun tidak begitu akrab. Tidak tau mengapa aku sangat menyayangi sahabatku yang satu ini. Dia adalah orang yang super baik dan perhatian terhadapku dan dia sangat mengetahui tentang masalah pribadiku. Dia layaknya seperti saudaraku, dia pun menganggap dan memperlakukanku seperti seorang adik. Dan hal itu terkadang tidak aku dapatkan dalam keluargaku.
Kami terlalu sering berjuang bersama. Perjuangan pertama yang sangat amat kami rasakan yaitu  ketika ingin mengadakan seminar tingkat nasional khusus program studi sejarah. ketuanya adalah  adik tingkat kami. Sahabatku ini menyandang sebagai sekretaris sedangkan aku sebagai bendahara. Kami selalu mengerjakan tugas berdua. Aku merangkap jadi sekretaris dan iapun merangkap jadi bendahara. Bahkan pernah suatu ketika kami berdua tidur pada saat subuh karena mengerjakan rekapan peserta seminar dan harus bangun pada pagi harinya. Sebenarnya dalam kegiatan itu aku dan sahabatku itu juga dibantu oleh teman-teman lain dan adik-adik tingkat sejarah. mereka adalah Cebong, Rian, Dul, Afriko, Yuke, Septi Ndut (^_^) dan lain-lain. Hanya saja adik-adik masih ragu apa yang harus dikerjakan, sehingga aku dan sahabatku ini harus super control terhadap acara tersebut. Kami berdua selalu mendapat bagian yang sama. Sama-sama merasakan susahnya, sama-sama kena ocehan, bahkan sama-sama menangis….




Saat penyusunan skripsi pun tiba, dan benar dugaanku..kami sama-sama lagi. Sama-sama mendapatkan pembimbing yang sama. Kami berdua pun berharap nantinya wisuda sama-sama. Tiba saat ujian proposal, ternyata aku tidak serta merta dengan dia. Aku lebih dulu dibandingkan dia, namun hal itu tidak menutup kemungkinan bahwa kami berdua akan wisuda pada bulan yang sama. Waktu terus berjalan tetapi sahabat yang aku anggap saudaraku ini belum juga melaksanakan ujian proposal.
Kembali pada petualangan: pada saat akan diadakannya seminar nasional (22-25 April 2012) di Bandung aku dan dia nekat ingin mengikuti acara Semnas tersebut. Besarnya keinginan untuk melihat dunia luar didorong oleh keinginan untuk mencari pengalaman agar dapat menjadi pribadi yang bermanfaat. Dengan modal nekat dan keyakinan akhirnya kami pun berangkat ke Bandung. Aku dan dia sama-sama berbohong terhadap orang tua kami karena takut tidak diizinkan yaitu dengan mengatakan kepada orang tua kami bahwa kami pergi bersama dosen dan sebanyak kurang lebih 20 orang. Padahal kenyataannya kami hanya berdua dengan perjalanan yang berbahaya yaitu estafet. Kebohongan kami itu pada dasarnya kami lakuakan karena tidak mau orang tua kami panik dan terlalu khawatir nantinya. Kami berangkat dengan perjuangan yang wow dahsyatnya. Dari siang hari kami berdua mengurus surat izin untuk pergi dan Alhamdulillah diizinkan oleh ketua program studi kami. Sore harinya kami langsung bergegas untuk mencari tiket bus menuju Bandung, ternyata keberangkatan bus tersebut pada jam 2 esok harinya. Sedangkan lusa seminar telah dimulai. Akhirnya kami berdua pun nekat ke stasiun dan akhirnya kami pun naik kereta api menuju Lampung yang berangkat pada jam 10.00 malam. Pada malam itu, sangat teringat olehku kami berangkat dengan kondisi hari hujan dengan diantarkan oleh adik kelas.  Keesokan harinya kami tiba di Lampung pada jam 10.00 pagi. Tidak berhenti sampai disitu perjalanan pun kami lanjutkan ke pelabuhan Bakahuni dengan menggunakan travel selama kurang lebih 2 jam. Dalam perjalanan menuju pelabuhan terbesit rasa takut terhadap bapak yang menyetir travel tersebut apalagi penumpang travel itu hanya aku dengan sahabatku itu saja tidak ada orang lain selain kami. Namun dengan berusaha menghilangkan rasa takut, aku pun mulai mengajak supir travel tersebut untuk berbicara walaupun sekedar menanyakan asal muasal atau apalah yang penting ada bahan untuk dibicarakan. Cerita punya cerita ternyata bapak tersebut berasal dari Sumatera Utara tepatnya kota Medan. Pembicaraan pun mulai terasa asyik dan hangat karena ternyata sahabat karibku itupun masih ada darah Batak. Sahabatku dan bapak travel itu pun saling bertanya suku dan sebagainya yang berhubungan dengan Medan. Sesekali kamipun bercanda dengan bapak tersebut. Hingga akhirnya kami pun tiba di pelabuhan Bakahuni Lampung. Ada kekhawatiran di bapak travel itu saat kami turun dari travel dan bapak itupun menunjukkan kepada kami dimana loket untuk membeli tiket, oh ternyata baiknya bapak itu ^_^.
Mulai lagi petualangan baru, aku dan sahabatku naik kapal Fery dari pelabuhan Bakahuni menuju pelabuhan Merak Banten.


Dalam perjalanan menuju Merak kami berjumpa lagi dengan seorang teman yang berasal dari Tangerang. Ia sama-sama berlayar dengan kami di kapal tersebut. Bercanda bersama dengan orang yang baru kami kenal tersebut serasa sudah lama saling mengenal. Cukup nama yang kami saling mengetahui. Hingga tibalah di pelabuhan Merak, kami pun berpisah lagi dengan orang yang baru kami kenal tersebut. Ia pun menunjukkan kepada kami dimana bus menuju bandung dan ucapan terakhir yang diucapkannya kepada kami kurang lebih yaitu “berhati-hatilah kawan”.


Hilang lagi sosok orang yang baru kami kenal tersebut. Melanjutkan lagi perjalanan kami menuju Bandung dengan bus yag kami tumpangi. Sungguh tragis, bus yang kami tumpangi harus berputar-putar dulu di kota Serang selama kurang lebih 3 jam untuk mencari penumpang. Hingga sekitar jam 9 an malam kami baru berangkat dari Serang menuju Bandung.  Dalam perjalanan yang kadang-kadang singgah tersebut mengantarkan kami di terminal Bandung sekitar jam 11 lewat hampir jam 11.30 malam.


Tidak ada Panpel Semnas yang bersedia untuk menjemput kami dengan alasan terminal yang jauh dari mess. Akhirnya kamipun menaiki angkot menuju Jatinangor yaitu tempat kampus UNPAD Jatinangor berada. Alhasil saat masuk dalam angkot handphone aku dan sahabatku tewas. Habis baterainya. Angkot yang membawa kami sangat lambat masih harus menunggu penunmpang pada jam 12.30 malam. Hal yang membuat kami berdua tercengang yaitu ketika melihat pasar yang telah dibuka pada jam 12 malam. Oleh karena itulah angkot yang kami tumpangi tersebut terpaksa berhenti untuk mengambil penumpang. Karena memakan waktu yang lama untuk menunggu penumpang tersebut akhirnya kami memutuskan utnuk menaiki taksi. Dengan bayaran yang cukup mahal kami pun pergi dengan taksi. Tidak lama kemudian bapak supir taksi kembali menanyakan tujuan kami kemana. Dengan santainya kami menjawab ke UNPAD. Kemudian bapak tersebut bertanya kembali turun di mananya. Karena bingung jadi aku jawab saja turun di tempat yang ada tulisan Universitas Padjajaran nya. Bapak itu terlihat agak bingung namun berusaha tidak bingung. Mungkin,,
Sesaat kemudian tibalah kami di tempat yang ada tulisan Universitas Padjajaran nya. Bapak itu kembali bertanya yakin nak turun disini. Kami menjawab dengan tegas yakin pak. Turunlah kami ditempat yang gelap itu sekitar pukul 2 malam lewat. Kebingungan melanda kami berdua karena handphone yang kami pegang sama-sama dalam keadaan mati, jadi kami tidak dapat menghubungi panitia pelaksana Semnas. Disana kami bertemu seorang ibu yang sepertinya sedang berjualan. Kami meminta izin untuk meminjam handphone untuk sekedar menghubungi panitia, tetapi dengan beberapa kendala ternyata kami tidak dapat memakai hp ibu tersebut. Akhirnya kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Tidak lama kemudian kami bertemu dengan pos satpam yang menjaga di daerah kampus. Dengan kagetnya bapak satpam pun bertanya kami dari mana dan hendak kemana. Kami pun menjawab apa yang ditanyakan bapak tersebut. Kemudian kami pun meminta izin kepada bapak yang berjaga tersebut untuk mengisi baterai hp kami yang habis agar dapat menguhubungi panitia. Kami pun diizinkan bapak tersebut. Dan akhirnya kami dapat menghubungi panitia, dengan segera mereka para panitia menjemput kami di pos satpam tersebut. Kami pun tiba di mess sekitar pukul setengah 3 pagi.
Keesokan harinya dengan keramahan alam Bandung yang dingin, membuat semua insan menjadi malas. Namun pagi itu sekitar jam 7 kami harus mengikuti Semnas yang merupakan tujuan utama kami ke Bandung.

Banyak pengalaman dan pelajaran yang didapatkan dari kawan-kawan IKAHIMSI. Semua hal yang tak dapat tergantikan oleh apapun.


Berkisar kurang lebih 3hari kami mengikuti acara di kampus UNPAD, tiba waktunya untuk kembali ke Palembang.
Sore itu tanggal 25 April sekitar jam 5 an kami menunggu bus untuk berangkat ke kota Bandung. Di luar dugaan, yang awalnya kami akan langsung melanjutkan perjalanan ke Jakarta ternyata karena sudah terlalu malam akhirnya beberapa teman kami yang berasal dari Kampus lain menyarankan agar menginap dulu saja di Bandung. Kebetulan salah satu dari mereka memiliki kakak perempuan yang kos di Bandung, kak Dini. Bersyukur kami dapat menumpang walau hanya semalam.
Keesokan paginya, kami berdua langsung berangkat menaiki angkot untuk mencari bus dengan tujuan Jakarta. Keberangkatan kami awalnya bersamaan dengan kak Dini yang memberikan kami tumpangan karena kebetulan kak Dini juga mau berangkat ke tempat kuliahnya. Akhirnya kami berpisah dengan kak Dini sebab kami harus pindah angkot lain yang dapat mengantarkan kami menuju bus tujuan Jakarta. Singkat cerita kami pun telah menaiki bus yang siap mengantarkan kami ke Jakarta.


Setibanya di Jakarta, kami harus kembali membuka peta alam fikiran untuk mencari alamat teman kami yang ada di Jakarta yaitu Arini. Akhirnya kami kembali berhasil menemukan alamat Arini.


Rehat sebentar di kos Arini, kemudian sore nya melanjutkan perjalanan untuk melihat menara yang selama ini hanya kami lihat di TV, Monas. Namun sebelum menuju Monas, kami melihat-lihat dulu pasar di Mangga dua. Kemudian kami bergegas ke Kota Tua sekalian mencari untuk makan malam.


Selesai dari kota tua, kami melanjutkan perjalanan ke Monas, tiba di Monas sekitar pukul 8 malam. Dengan kegirangan kami pun tidak merasakan lelah sedikitpun. Dengan mengelilingi lokasi Monas untuk dapat masuk ke kediaman Monas. Kunjungan ke Monas merupakan kunjungan kami yang terakhir di Jakarta, karena keesokan harinya kami harus bergegas untuk pulang ke Palembang.


Keesokan harinya perjalanan harus dilakukan untuk mengejar waktu. Pertama-tama kami menumpangi bus menuju pelabuhan Merak. Kemudian seperti biasa kami menyeberang ke Bakahuni dengan kapal titanic (hiperbola dikit). Ketika hampir tiba di Bakahuni, kami ditawari oleh supir travel gelap agar menumpang dengannya. Awalnya keraguan melanda kami berdua. Kemudian karena ada juga penumpang lainnya yang juga sama-sam mau ke Palembang akhirnya kami yakinkan diri untuk ikut travel itu saja. Pertimbangan lainnya karena tidak mungkin bagi kami untuk mengejar kereta. Kemungkinan kereta telah berangkat sebelum kami tiba di stasiun.
Perjalanan selanjutnya pun kami lewati dengan travel. Hal yang masih mengganjal sampai saat ini adalah, ketika kami sedang dalam perjalanan kami di stop oleh dua orang lelaki yang tidak dikenal. Saat itu telah menunjukkan sekitar pukul 2 tengah malam. Anehnya supir ini pun berhenti, serta sempat mau mengizinkan dua orang tersebut untuk ikut bersama kami. Ketakutan sempat melanda fikiran kami. Bagaimana mungkin di tempat yang sepi ada orang yang mau menumpang, antara makhluk halus dan perampok, itulah yang ada di fikiran ku. Aku hanya berdoa minta lindungan dari semua kejahatan kepada sang Khaliq. Dan akhirnya, kedua orang tersebut mengurungkan niatnya untuk ikut menumpang di travel yang kami tumpangi.
Perasaan lega kembali menghampiri. Hingga pagi melanda dan kami pun tiba di Palembang sekitar jam 9. Tiba di Palembang, tinggal satu kendaraan lagi yang harus kami lewati yaitu trans Musi. Dengan selesainya perjalanan melalui trans musi, maka berakhir pula petualangan untuk tahap pertama ini. Tiba jualah kami di kos tercinta ^_^ ...



Alhamdulillah berkat perjalanan ini, satu lagi cerita yang dapat aku tambahkan di daftar petualanganku......

Nb:
And then.....jika ada waktu yang memungkinkan, ku tunggu petualangan selanjutnya kawan..

Dedicated for my flend... Novi Riani.. ^_^
Tonight: 12 November 2013 (Novi’s birthday)..


Minggu, 12 Januari 2014

Sastra Bangka

Kisah Menah kek Unen
(Sastra nona Van Bangka)
By: Yuliarni


Kisah due sekawan: Ade due urang dere, kebenya ne sama-sama bareu nek masok kuliah riken e, nama e Unen kek Menah. Waktu ya kebenya duduk-duduk beng tiras mesjid bareu udeh lah semayang Megrib.

Menah             : wew boy nakmana kita due ne..

(Yang unen sibuk ngesaic kasot e entah beng mana. Sambil nyarik ngumel2 lah Unen..)

Unen               : pupos umat beng ne ne, pekak men cek kasot kak ge lempos
  diambik e..
Menah             : uwew nya ne urang ngajek bekisah nya sibuk kek keben kasot.
Unen               : kan nakya e boy..pekak udeh kak ne kek pulek kumah kakei
  ayem...nya kasot ya kasot mak kak mulah udeh e..lah matei kek
  dikerunyam mak kamei dumeh lak..
Menah             : demene nya bende ya pok ngelek e tadi..

(yang Buter lah ngerengem nahan ketawa hal e nya yang munyik kasot unen..
Nengong geleget Buter, ade-ade lah asa Menah curiga.)

Menah             : oo ter, pok ne ok munyik kasot unen,,
Buter               : mana ade ..jen ambik asal tuduh ne pok..
Menah             : udeh ngapa pok sengak-sengem sutek pok lah
Buter               : mana kenek-kenek kak lah te udeh e men kak nek sengak-sengem
  sendirik, pupos...
Unen               : aok bener deng pok ne mulei ter, kak tadi nengong pok de
belekeng kak pas nek masok masjid tadi. yu kasot mak kak nya ya..
Buter               : aok lah e miak,,num nya kak gelek beng beweh papen.

(Udeh madeh ya langsung mengkicet Buter pulek..)

Unen               : wew sutek kaper umat ya..keben munyik kasot urang..awas bi nya
  ade penempoh e..

(Muka Unen lah kek ngerubut saking geremnya kek Buter)

Menah             : lah boy denglah jen de pretak igek, ngumong-ngumong dilek lok
  pulek, kita bekisah lok yang mese cita-cita kita ya boy.

(Riken yang unen narik napes lok lah nyamen inde e kena kasot mak e lah ketempoh.)

Unen               : aok boy, jedei nakmana cerita e yang kita ya
Menah             : nakne boy kita ken lah nek tamat sekulah SMA, jedei e men
urang tua ade ungkos e kirak e neklah kita nyambung yang mese  kuliah kata urang ya.
Unen               : neklah kak, api kak dek kawa asa e men de Bengkek ne, de luer bi
Menah             : oker sek men ade duit benyek kak men depet de luar Indonesia e
  boy.
(Yang gaya Menah sembil ngambik telkong e yang jetuh.)

Unen               : kita tengong dudei lah tapi boy, nakmana mak kak ya. Mak kak
  ya dek patei merik ulak men kak keluar. Sara ge jadei kak ne,
  men anek dere gek sikok kak lah...
Menah             : aok pok ya lah boy, sara ge jedei pok ne..men kak bec lah kamei
                          tige beredik mentinak ketak udeh e, men mak kak ya asak ngeruce
                          lah bunyi kek nguser anek e lah...
  hemm..men kak dudei men telaleu kuliah beng luar Bengkek kak
  nek maseng kawat gigie boy bier keliat gaul men.
Unen               : deng pok kawa igek maseng mese kawat gigie ya sara pok maken
kek tambeh tekuros beden pok. Udeh yang jiet nya ulak ketawa   men ade bende mese ya ya..
Menah             : aww dek cek hal e yang penting gaul.
Unen               : yok pok men dek pidu igek..yu kita pulek udeh e..lah lama ge
  beng ne di.

Lah lulos muah Menah kek Unen di........

Menah             : Assalamualaikum..Nen..oo Unen....

(Yang Unen tengah sara ge de wc neren birek.
Menah de luar agik tekaroh-karoh manggil Unen...)

Menah             : Unennn........

(Kebec ge ade mak Unen keluar.)

Mak unen        : lah apa Menah, Unen agik birek e de belekeng num.
Menah             : oh sesuai pon bik nya dekde aben nyaot..
Mak unen        : ntah men budak ya kek birek bateu udeh e darei tadi dek
  Keluar-keluar...yang amang e lah ngeruce nek ke wc lah.

(Dek lama udeh ya keluar Unen)

Unen               : wew nyamen asa e (ngerengem Unen)
Mak unen        : keluar ge rupa pok di ok miak..kak piker lah kek dek nyengol
                          agik pok darei wc..
Unen               : wew sek mak ne..kak ya sara birek e mak..

(Mak Unen lah lempos ke depuk..)

Menah             : boy..nakmana pok kuliah demene?kak diberik boy kuliah ke luar
  Bengkek. Api sejeuh-jeuh e Pelimbang bi kata mak kak. Api
  jedeilah
Unen               : kak ge ya lah sudeh lah ngumong kek mak, sebener e mak dek
  merik api kak rayurayu  ujung-ujung e meriklah.
Menah             : aok ge...wa sama pon kita.yu kita kuliah de tempet sama bi..

Lah ateng bener waktu e Unen kek Menah di ke Pelimbang..udeh yang budu e keseset ulak mese beng adep Pasar 16 beweh Ampera, mese bereu tige arey de Pelimbang iken e nek macel.
Gei ke pasar turon dek jeuh derei pos de beweh Ampera. Bejelen-bejelen ngesaic bejuk, ngesaic pamken...entah lah kek de saic ketak saking ingen e...pas nya bedirei beng kiun-kiun pasar 16, bingung ngesaic angkot nek pulek. Nek nanyak dek patei tau, ngucap bahasa pelimbang lom  tae, nek ngucap bhsa Indonesia lideh dek merik...

Menah             : lah matei men kita due ne Nen, kek de juel urang...
Unen               : pupos ngenakot ucap pok ne, yu e kita bejelen lok ngesaic e..
Menah             : nya kak ne lah leteh e nen, kemana kita di kak lah lupak jelen        
   pulek..
Unen               : nya kak ya aoklah e...api men asa2 kak e gei kiun kita di...

(Unen nunjuk ngarak-ngarak ke bundaran nampek Mesjid Agung...)

Menah             : suahlah pok Nen....yu pon kita kenum..

Lah lama ge unen kek menah bejelen aher e ketempoh nya kek bunderan...lah kek be udik ulak men urang due ya..

Menah             : wew sek nen bec tak aok aek ya..deng poto lok nen kita beng
     ne..cek kenang-kenangan jedei lah.

(yang Unen langsong nek nyebrang..api dektau nya bingung..)

Unen               : matei lah nakmana kita nek kiun nah, mubil mutor de jelen ne dek
  abis-abis.

Nya sangkak nak nyebrang beng kampong...mese nunggun mubil mutor liwat abis. Padehal ade jerembeh dek jeuh darei ya..
Rupa ge ntah nakmana kisah e setengong lah yang Menah di kek jerembeh ya..pinter nya sikit de ajek e Unen nyebrang...
Lah ateng beng aek mancor ya...ukeng...langsong nya ngeluar hape e.. gaya nya makai bebe...(BB).

Menah             : kak gek mulei pukok e Nen, pat men pok poto kak beng ne..

Kecerek kecerek ..kebenya due di bepoto-poto....
Lah ngarak ke peteng bereu nya umat due ya tekeneng kek pulek...
Lah penen ulak nya miker nyebrang. Paksa udeh ngenaic tangek ulak nek nunggun mubil angkot mirah nak kata Unen ge. Sukor lah nya ujung-ujung e umat due ya langsong ketempoh kek mubil mirah di, langsong lah nya pulek ke kos.

Besembung boy....


HARAPAN UNTUK CICIT:
SEBUAH PELAJARAN DARI SI CACAT

By : Yuliarni Ole
(penikmat sastra)

Di sebuah dusun kecil yang bernama dusun Tanjung Pinang nan jauh dari keramaian kota, dengan jejeran rumah panggung yang tinggi sebagai ciri khas rumah adat di Sumatera Selatan umumnya, pemandangan rerumputan yang menghijau. Di sana pula tempat hidup seorang wanita cacat yang telah selama hidupnya hanya untuk bertahan bertahan dan bertahan, berjuang berjuang dan berjuang serta ikhlas ihklas dan tetap ihklas.

* Senyuman ikhlas di balik ketabahan *

Pagi ini seperti biasanya cerah dan secangkir teh hangat selalu bersedia menghampiri tenggorokan mengisi keringnya mulut setelah beberapa jam menyelesaikan kegiatan rutin di malam hari bersama sang bantal dan tuan kasur. Aku yang waktu itu sengaja menyempatkan hari liburan untuk berkunjung ke rumah nenek cukup menikmati indahnya pagi di dusun tercinta nenek. Seketika pandangan terarahkan pada sesosok wanita setengah dewasa yang terengah-engah keletihan setelah menyusuri dinginnya lantai rumah yang ditempatinya bersama nenek. Begitu pahit kehidupanmu cit, pernahkah engkau mengeluh untuk menuntut kelebihan kepada Tuhan cit? tanyaku dalam hati.
Bagaimana engkau mampu menjalaninya selama berpuluh-puluh tahun ini. Inikah kelebihan yang diberikan tuhan kepadamu?sebuah ketabahan yang tiada batasnya. Terenyuh hatiku melihat dikala engkau kesusahan untuk makan , aroma iba selalu tercium dari tubuhku tatkala melihat engkau mengesot-ngesot dilantai dengan sekuat tenaga untuk mendatangi ruang tamu, sungguh rahasia apa yang tersimpan dibalik semua ini. Hanya sebuah harapan yang mampu aku transfer untuk memberi makna bahwa berartinya hidupmu. Banyak insan yang sempurna di dunia tapi hati penuh dengan kekurangan. Cinta ini untukmu cit, sebuah ungkapan yang tak tau harus bagaimana aku menyampaikannya. Mengertikah ia dengan ucapanku? Pahamkah dia maksud senyumku? Tak jarang aku mendengar kata-kata yang kau ucapkan, “umak, bak, anto, eyek, tedi, eik-eik, tak uit”. Yah, hanya kata-kata itu yang keseringan mampu engkau ucapkan selama umur hidupmu bahkan dikala umurmu yang sekarang sudah tidak muda lagi.
Tak henti-henti pula agaknya kemalanganmu ketika engkau harus dihadapkan dengan himpitan ekonomi dalam keluarga yang kau juga harus terlibat di dalamnya menikmati kesusahan itu. Tak jarang pula ada orang yang jijik ketika mencium aroma tubuhmu yang tak enak untuk dirasai baunya itu.

* Sebuah pelajaran berharga *

Sesungguhnya jika mereka tahu bahwa mengenalmu adalah anugrah terbesar dalam hidup. Karena disanalah sebuah pelajaran hidup tergambar, sebuah kesempurnaan nyata yang tidak dimiliki oleh setiap orang ketika melihat tabahnya dan putihnya hatimu itu. Sebuah harapan besar bagi orang yang fisiknya melebihi dirimu untuk tidak mengeluhkan nasibnya karena tersadar bahwa di bawah masih banyak yang kurang dari dia.
Apa sebenarnya yang membuatmu tetap bertahan hidup cit, emas model apakah yang sekarang tertanam di hatimu sehingga tak dapat menggoyahkan semangatmu untuk tetap menjalani hidup walaupun pahitnya hidup yang engkau hadapi. Pernahkah engkau berfikir untuk berjalan dan berlari layaknya makhluk ciptaan Tuhan yang lainnya, insan yang tiada pernah puas yang walaupun demikian banyak kelebihan yang dititipkan Tuhan untuk mereka.
Sebuah kata-kata yang kiranya dapat engkau dengar dan engkau mengerti adalah hidup itu indah. Walau bagaimanapun keadaanmu tetap saja hidup itu indah bagimu, mentari siang dan bulan malam sepertinya telah engkau rasa puas untuk dilihat tanpa melihat keindahan yang lainnya lagi.
Bagimu hidup hanyalah menanti siang setelah malam, menanti malam setelah siang. Menunggu makanan setelah merasai lapar, menanti kenyang setelah makan. Tersenyum ramah dikala mendengar canda dan mendapati tangisan jikalau bersedih. Itu, itu saja hidup bagimu karena cacat fisikmu yang engkau derita semua serba terbatas. Namun seperti bahagia pula perjalanan hidupmu walaupun hanya dengan semua kekurangan itu yang engkau miliki.
Banyak pembelajaran bagi manusia lain jika berjumpa denganmu cit, pengaruhmu bahkan mampu menyaingi sosok Hitler yang mampu memberikan ideologinya dengan memekik di keramaian. Tetapi dengan susahnya engkau berbicara dengan hanya diamnya kau namun selalu berusaha untuk menggerakkan tubuhmu walaupun sulit untuk sesuatu yang ingin engkau ambil tetapi lebih dari ideologi yang didapatkan seseorang namun nilai moral dan nilai keikhlasan.
Sejenak terlihat olehku tempat-tempat yang kau tuju sangat mudah untuk ditebak. Dapur, ruang tamu, dapur ruang tamu, dapur ruang tamu. Hanya itulah tempat sejauh-jauhnya tempat yang pernah engkau kunjungi semasa hidupmu hingga sekarang ini. Masihkah berbahagia seorang tua yang dengan ikhlas pula merawatmu, yang dengan kemampuan sedikitnya ia selalu luangkan waktu untuk menyuapimu nasi, menyuruhmu tidur dan mengurut badanmu. Dialah sosok yang paling kau kenangi kau panggili dan bahkan ketika kesal kau teriaki. Maaaaaaaakkkkk........itulah yang kerap kau panggilkan untuk insan mulia yang telah ikhlas merawatmu itu.
“We..kesian ok dengan cicit, nye dektau nek ngapelah.”. Demikian kata seorang yang berasal dari Pulau Bangka ketika melihat pemandangan itu. dikala anak-anak kecil berlarian karena takut melihat sosoknya dengan mengesot-esot di lantai, ketika anak-anak kecil mulai memberi sedikit ejekan sebagai pelengkap kemalangannya, disanalah senyumnya terpancar. Sungguh sekali lagi sebuah ketabahan yang tiada muaranya.

* Sebuah bingkisan doa *

Tangisan bagimu adalah suatu kekurangan hidup dan senyuman adalah sebuah anugrah Tuhan. Yakinku bahwa ada sebuah harapan yang ingin kau sampaikan lewat ikhlasnya senyummu, ada sebuah harapan yang ingin kau lakukan sendiri lewat esotan lembutmu di lantai.
Pagi itu cicit bangun lebih awal dan seperti biasanya suara yang kuat namun kurang begitu jelas dilontarkannya. “maaaaaakk.....umaaaakkk...” teriaknya. Terdengar suara lembut menyambut teriakan itu, “iyo nak... ngapo...umak di siko” jawab perempuan tua yang kerap disapa mak oleh cicit. “umaaakkkk...maakkk...” terdengar lagi panggilan dari cicit. “iyo sayangku..ngapo..., kagi makan yo nak..” kembali jawaban yang dilontarkan oleh perempuan yang tidak muda lagi itu.
Menjelang jamnya pun seperti biasanya cicit disuapi makan oleh orang yang kerap disapanya mak itu. Tanpa henti dan telah menjadi rutinitas setiap harinya seperti itulah kira-kira gambarannya. Mak yang merawat cicit dengan usia yang renta itu pun tanpa bosannya menghadapi rutinitas kesehariaanya itu bersama cicit salah satu anaknya tercinta.
Sebuah pelajaran juga yang hampir lupa aku torehkan dalam tulisan ini. Alangkah sikap pekerja kerasnya yang digambarkan cicit melalui jalan kepahitan hidupnya, yang walaupun susahnya untuk mengesot di lantai demi mendapati sebuah dapur atau ruang tamu, namun tiada pernah ia mengeluh dan meminta bantuan seseorang untuk menggiringnya ke tempat tujuannya. Yang walaupun debu hitam di lutut senatiasa menghinggapinya dikala ia menarik badannya dengan tangan kemudian disusul dengan kaki itu namun tiada pula terdengar olehku tangisan keputusasaan darinya. Sebuah majas hiperbola namun memang patut untuk disampaikan kepadamu adalah “kamu berhati emas yang paling mahal yang adanya emas itu cuma di surga yang khusus dibuatkan Tuhan untuk orang istimewa”.
Berbahagialah selalu cit, semoga yang terbaik senantiasa menjamahmu dan semoga kesehatan senantiasa menghinggapimu. Terimakasih sang penginspirasi, semoga cicit-cicit lainnya juga dapat dan selalu berhati emas sepertimu.



Inspired from Cicit, seorang cacat berhati emas
29 September 2013

Jumat, 10 Januari 2014

ANAK JALANAN DI KOTA PADANG
by: Yuliarni
 fenomena anak jalanan ketika yang berrdasi tertawa
Sebuah realita lama yang ada difikiran masyarakat pada umumnya yang tidak jarang menganggap anak jalanan atau yang umum disingkat dengan Anjal sebagai sampah masyarakat, pengganggu ketenangan masyarakat bahkan berandal jalanan. Iya, memang demikian kenyataannya namun tidak semua anak jalanan termasuk kategori yang demikian. secara tidak sadar ternyata dalam dunia per anjalan mengenal juga golongan-golongan yang menjadi pembeda antara anjal yang satu dengan anjal yang lain.  Serta Alasan-alasan untuk menekuni bidangnya sebagai anjal pun sangatlah bervariasi. Demikian kenyataan yang sering muncul. Anjal yang identik dengan kota, pengamen, peminta-minta atau pengemis pada dasarnya memiliki tempat-tempat strategis untuk melancarkan aksinya. Seperti lampu merah, jembatan penyeberangan,di bus-bus kota, pasar-pasar tradisonal dan tempat-tempat lainnya yang menjadi pilihan dan dianggap strategis bagi mereka. Tidak hanya itu, anjal juga identik dengan tampilan-tampilan aneh seperti pakaian yang kotor, celana yang sobek di lutut, rambut yang dibuat dengan bentuk yang ber ala anak funk, ada juga yang memakai anting dan ada juga yang biasa-biasa saja. Semuanya tidak lepas dari ligkungan anjal yang diikutinya. Seperti yang dijelaskan di atas bahwasaannya secara tidak sadar dalam dunia anjal juga mengenal golongan atau kelompok masing-masing. Selain itu mereka ada yang berkelompok ada juga yang sendiri. Namun yang terkadang sering ditemui adalah berkelompok-kelompok. Ada juga satu yang ditugaskan untuk menjalankan aksi sedangkan yang lain sebagai pengawas yang akhirnya nanti hanya menerima uangnya tanpa ikut menjalankan tugas.

Tidak seperti kota-kota lain yang sering ditemui, kota padang termasuk salah satu dari banyak kota-kota yang ada di Indonesia yang memiliki jumlah anjal dengan kuantitas kategori sedikit. Hanya di setiap lampu merah saja yang sering muncul, dan itupun tidak pada setiap lampu merah yang ada di kota Padang. Lain halnya dengan kota-kota seperti kota Jakarta, Bandung dan Palembang yang pernah dikunjungi penulis yang menampung kuantitas anjal dengan jumlah yang relatif banyak. Hal tersebut dapat juga dipengaruhi oleh bagaimana besarnya kota tersebut kemudian makin banyak pula penduduknya. Nampak perbandingan seperti kota Jakarta lebih banyak terdapat anjal dibandingkan dengan di kota Palembang. Demikian juga di kota Palembang yang lebih besar daripada kota Padang, lebih banyak juga memiliki jumlah anjal yang tersebar di berbagai sudut kotanya.
Akhirnya beberapa pertanyaan kolot datang lagi, siapa sebenarnya anjal? Darimana munculnya mereka? Tahukah kita bagaimana kehidupan mereka? Kenalkah pemerintah dengan kasta yang tergolong proletar ini? Pertanyaan-pertanyaan yang saya rasa tidak perlu dijawab secara gamblang. Cukup rasakan dan saksikan realitanya yang secara terang-terangan telah muncul ke permukaan. Saat saya bertanya kepada masyarakat mengenai bagaimana eksistensinya anak jalanan, bagaimana sebenarnya kehidupan mereka, muncul variasi dalam setiap jawaban. Salah satunya menurut Lina yang merupakan mahasiswa sastra Jepang Universitas Andalas, “Saya rasa kehidupan anak jalanan itu sangat keras, dan saya memandangnya dari dua sisi. Pertama, anak jalanan itu ada yang memang mengganggu. Kedua, mereka memang benar-benar melakukan aksinya di jalan dengan mengamen itu untuk mencari uang. Pernah waktu itu saya lagi duduk, terus ada adek-adek yang meminta uang secara paksa terhadap saya. Nah, yang seperti itulah yang menurut saya mengganggu.” Jelas Lina. Sebenarnya kebijakan dalam menyikapi tentang eksistensi anak jalanan di permukaan inilah yang seharusnya dimiliki oleh setiap mata insan.
Kehidupan yang lebih baik tidak pula menjamin seseorang memiliki jiwa patriotisme dan sosialisme tinggi. Bahkan, mereka (anjal) ada yang lebih sempurna berfikirnya untuk kehidupan. Menurut bang Ade yang merupakan ketua dari salah satu kelompok anak jalanan, “Kami disini mampu mencari nafkah sendiri, jujur saya sangat anti dengan pemerintah jadi kami tidak perlu pemerintah. Malahan kami cukup senang untuk membantu jika ada yang meminta sumbangan untuk sebuah bantuan” ungkap bang Ade sewaktu saya temui di salah satu lampu merah di kota Padang. Dan menurut teman yang lain ketika saya tanya tentang ancaman dari petugas keamanan, “Saat ada penertiban dari Sat. Pol. PP, seandainya kami sedang mengamen maka akan ditangkap dan gitar yang dipakai akan diambil. Tapi penangkapan itu hanya dilakukan selama dua jam, setelah itu kami akan dilepaskan kembali”. Tungkasnya tenang.

 Sangat unik bukan? Dalam banyak hal yang seharusnya dilakukan pihak berwenang, hanya secuil tindakan yang dilakukan. Entah untuk apa rampasan gitar itu mereka lakukan jika bukan untuk melukai hati para proletar. Sebuah luka bagi si proletar, namun sebuah tawa bagi mereka yang berpura-pura berwibawa itu.
Seharusnya pemerintah tidak perlu merasa yakin bahwa keberadaan mereka sangat diagungkan, bahkan anak jalanan yang kasarnya berasal dari kasta terendah pun enggan untuk menengadah tangannya di depan mereka para pemerintah. Pernyataan bang Ade di atas cukup mencengangkan bagi saya. Dengan jiwa yang anti pemerintah serta jiwa sosial yang tinggi belum tentu dimiliki oleh kita yang memliki kehidupan yang lebih baik dari mereka para anjal. Penertiban dilakukan namun tanpa tindakan yang berarti. Ketidakadilan dari pemerintah dianggap hal yang fatal bagi mereka. Menimbulkan rasa iba terhadap pemerintah yang miskin kejujuran dan kaya kemunfikan. Bukankah seharusnya pemerintah tak luput dari surat-surat dalam Al Qur’an yang jelas-jelas diturunkan untuk manusia yang katanya sempurna ini. Salah satunya yang terdapat dalam surat An-Nisa ayat 58 yang artinya:

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil

Untuk sekedar diketahui bahwasannya berbagai masalah muncul diakibatkan oleh satu hal, yaitu kepercayaan yang disia-siakan. Dalam ayat di atas, Allah menyuruh manusia agar memenuhi kepercayaan yang diberikan dan bertindak adil dalam segala hal, termasuk memutuskan perkara. Kata al-amanah ‘kepercayaan’ dan al-‘adl ‘keadilan bersifat saling menafikan. Artinya, jika amanat dilaksanakan dengan baik, keadilan tidak diperlukan karena keadilan terwujud dengan sendirinya. Sebaliknya, apabila amanat disia-siakan maka penegakan keadilan diperlukan karena ketimpangan dan ketidakadilan akan merajalela.
Dalam kaitan tersebut, seolah-olah Tuhan berfirman, “Laksanakan kepercayaan yang diberikan kepadamu agar kamu tidak menjadi bagian dari masalah yang merepotkan sesamamu”. Betapa amannya kehidupan jika benar seperti yang terdapat dalam ayat tersebut. Pahamkah pemerintah dengan semua itu, sangat perlu dipertanyakan.

Sebenarnya dialog antara mahasiswa langsung dengan kepala pemerintah tidak terlalu sulit untuk dipahami. Dalam sebuah konteks, gagasan itu mencerminkan dua hal. Pertama, suara hati mereka ingin dapat didengar langsung oleh kepala pemerintah. Kedua, sebaliknya para mahasiswa juga ingin mendengarkan langsung jawaban dari kepala pemerinrtah tentang harapan-harapan mereka.
Para proletar seperti anak jalanan, bukanlah barang langka di muka bumi ini. Hanya peran pemerintahlah yang mereka anggap langka untuk memikirkan nasib jiwa-jiwa yang kelaparan ini. Bukannya mata mereka tertutup tetapi hati mereka yang telah dipenuhi virus katarak sehingga tidak mampu menilik wong cilik.

Artikel by:Yuliarni Ole
 (Student of Andalas University)

9 September 2013