Jumat, 10 Januari 2014

ANAK JALANAN DI KOTA PADANG
by: Yuliarni
 fenomena anak jalanan ketika yang berrdasi tertawa
Sebuah realita lama yang ada difikiran masyarakat pada umumnya yang tidak jarang menganggap anak jalanan atau yang umum disingkat dengan Anjal sebagai sampah masyarakat, pengganggu ketenangan masyarakat bahkan berandal jalanan. Iya, memang demikian kenyataannya namun tidak semua anak jalanan termasuk kategori yang demikian. secara tidak sadar ternyata dalam dunia per anjalan mengenal juga golongan-golongan yang menjadi pembeda antara anjal yang satu dengan anjal yang lain.  Serta Alasan-alasan untuk menekuni bidangnya sebagai anjal pun sangatlah bervariasi. Demikian kenyataan yang sering muncul. Anjal yang identik dengan kota, pengamen, peminta-minta atau pengemis pada dasarnya memiliki tempat-tempat strategis untuk melancarkan aksinya. Seperti lampu merah, jembatan penyeberangan,di bus-bus kota, pasar-pasar tradisonal dan tempat-tempat lainnya yang menjadi pilihan dan dianggap strategis bagi mereka. Tidak hanya itu, anjal juga identik dengan tampilan-tampilan aneh seperti pakaian yang kotor, celana yang sobek di lutut, rambut yang dibuat dengan bentuk yang ber ala anak funk, ada juga yang memakai anting dan ada juga yang biasa-biasa saja. Semuanya tidak lepas dari ligkungan anjal yang diikutinya. Seperti yang dijelaskan di atas bahwasaannya secara tidak sadar dalam dunia anjal juga mengenal golongan atau kelompok masing-masing. Selain itu mereka ada yang berkelompok ada juga yang sendiri. Namun yang terkadang sering ditemui adalah berkelompok-kelompok. Ada juga satu yang ditugaskan untuk menjalankan aksi sedangkan yang lain sebagai pengawas yang akhirnya nanti hanya menerima uangnya tanpa ikut menjalankan tugas.

Tidak seperti kota-kota lain yang sering ditemui, kota padang termasuk salah satu dari banyak kota-kota yang ada di Indonesia yang memiliki jumlah anjal dengan kuantitas kategori sedikit. Hanya di setiap lampu merah saja yang sering muncul, dan itupun tidak pada setiap lampu merah yang ada di kota Padang. Lain halnya dengan kota-kota seperti kota Jakarta, Bandung dan Palembang yang pernah dikunjungi penulis yang menampung kuantitas anjal dengan jumlah yang relatif banyak. Hal tersebut dapat juga dipengaruhi oleh bagaimana besarnya kota tersebut kemudian makin banyak pula penduduknya. Nampak perbandingan seperti kota Jakarta lebih banyak terdapat anjal dibandingkan dengan di kota Palembang. Demikian juga di kota Palembang yang lebih besar daripada kota Padang, lebih banyak juga memiliki jumlah anjal yang tersebar di berbagai sudut kotanya.
Akhirnya beberapa pertanyaan kolot datang lagi, siapa sebenarnya anjal? Darimana munculnya mereka? Tahukah kita bagaimana kehidupan mereka? Kenalkah pemerintah dengan kasta yang tergolong proletar ini? Pertanyaan-pertanyaan yang saya rasa tidak perlu dijawab secara gamblang. Cukup rasakan dan saksikan realitanya yang secara terang-terangan telah muncul ke permukaan. Saat saya bertanya kepada masyarakat mengenai bagaimana eksistensinya anak jalanan, bagaimana sebenarnya kehidupan mereka, muncul variasi dalam setiap jawaban. Salah satunya menurut Lina yang merupakan mahasiswa sastra Jepang Universitas Andalas, “Saya rasa kehidupan anak jalanan itu sangat keras, dan saya memandangnya dari dua sisi. Pertama, anak jalanan itu ada yang memang mengganggu. Kedua, mereka memang benar-benar melakukan aksinya di jalan dengan mengamen itu untuk mencari uang. Pernah waktu itu saya lagi duduk, terus ada adek-adek yang meminta uang secara paksa terhadap saya. Nah, yang seperti itulah yang menurut saya mengganggu.” Jelas Lina. Sebenarnya kebijakan dalam menyikapi tentang eksistensi anak jalanan di permukaan inilah yang seharusnya dimiliki oleh setiap mata insan.
Kehidupan yang lebih baik tidak pula menjamin seseorang memiliki jiwa patriotisme dan sosialisme tinggi. Bahkan, mereka (anjal) ada yang lebih sempurna berfikirnya untuk kehidupan. Menurut bang Ade yang merupakan ketua dari salah satu kelompok anak jalanan, “Kami disini mampu mencari nafkah sendiri, jujur saya sangat anti dengan pemerintah jadi kami tidak perlu pemerintah. Malahan kami cukup senang untuk membantu jika ada yang meminta sumbangan untuk sebuah bantuan” ungkap bang Ade sewaktu saya temui di salah satu lampu merah di kota Padang. Dan menurut teman yang lain ketika saya tanya tentang ancaman dari petugas keamanan, “Saat ada penertiban dari Sat. Pol. PP, seandainya kami sedang mengamen maka akan ditangkap dan gitar yang dipakai akan diambil. Tapi penangkapan itu hanya dilakukan selama dua jam, setelah itu kami akan dilepaskan kembali”. Tungkasnya tenang.

 Sangat unik bukan? Dalam banyak hal yang seharusnya dilakukan pihak berwenang, hanya secuil tindakan yang dilakukan. Entah untuk apa rampasan gitar itu mereka lakukan jika bukan untuk melukai hati para proletar. Sebuah luka bagi si proletar, namun sebuah tawa bagi mereka yang berpura-pura berwibawa itu.
Seharusnya pemerintah tidak perlu merasa yakin bahwa keberadaan mereka sangat diagungkan, bahkan anak jalanan yang kasarnya berasal dari kasta terendah pun enggan untuk menengadah tangannya di depan mereka para pemerintah. Pernyataan bang Ade di atas cukup mencengangkan bagi saya. Dengan jiwa yang anti pemerintah serta jiwa sosial yang tinggi belum tentu dimiliki oleh kita yang memliki kehidupan yang lebih baik dari mereka para anjal. Penertiban dilakukan namun tanpa tindakan yang berarti. Ketidakadilan dari pemerintah dianggap hal yang fatal bagi mereka. Menimbulkan rasa iba terhadap pemerintah yang miskin kejujuran dan kaya kemunfikan. Bukankah seharusnya pemerintah tak luput dari surat-surat dalam Al Qur’an yang jelas-jelas diturunkan untuk manusia yang katanya sempurna ini. Salah satunya yang terdapat dalam surat An-Nisa ayat 58 yang artinya:

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil

Untuk sekedar diketahui bahwasannya berbagai masalah muncul diakibatkan oleh satu hal, yaitu kepercayaan yang disia-siakan. Dalam ayat di atas, Allah menyuruh manusia agar memenuhi kepercayaan yang diberikan dan bertindak adil dalam segala hal, termasuk memutuskan perkara. Kata al-amanah ‘kepercayaan’ dan al-‘adl ‘keadilan bersifat saling menafikan. Artinya, jika amanat dilaksanakan dengan baik, keadilan tidak diperlukan karena keadilan terwujud dengan sendirinya. Sebaliknya, apabila amanat disia-siakan maka penegakan keadilan diperlukan karena ketimpangan dan ketidakadilan akan merajalela.
Dalam kaitan tersebut, seolah-olah Tuhan berfirman, “Laksanakan kepercayaan yang diberikan kepadamu agar kamu tidak menjadi bagian dari masalah yang merepotkan sesamamu”. Betapa amannya kehidupan jika benar seperti yang terdapat dalam ayat tersebut. Pahamkah pemerintah dengan semua itu, sangat perlu dipertanyakan.

Sebenarnya dialog antara mahasiswa langsung dengan kepala pemerintah tidak terlalu sulit untuk dipahami. Dalam sebuah konteks, gagasan itu mencerminkan dua hal. Pertama, suara hati mereka ingin dapat didengar langsung oleh kepala pemerintah. Kedua, sebaliknya para mahasiswa juga ingin mendengarkan langsung jawaban dari kepala pemerinrtah tentang harapan-harapan mereka.
Para proletar seperti anak jalanan, bukanlah barang langka di muka bumi ini. Hanya peran pemerintahlah yang mereka anggap langka untuk memikirkan nasib jiwa-jiwa yang kelaparan ini. Bukannya mata mereka tertutup tetapi hati mereka yang telah dipenuhi virus katarak sehingga tidak mampu menilik wong cilik.

Artikel by:Yuliarni Ole
 (Student of Andalas University)

9 September 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar