Minggu, 05 Januari 2014

JIWA-JIWA SASTRA DI MINANG

Oleh:Yuliarni
Artikel: 03 Januari 2014
( mahasiswa  Sejarah Universitas Andalas)

Setiap wilayah atau daerah tentu memiliki banyak kekhasan bagi derahnya sendiri. Kekhasan yang dimiliki daerah tertentu muncul dari sebuah kebiasaan yang pada akhirnya membudaya bahkan menjamur pada masyarakatnya dan barulah menjadi ciri khas bagi daerah yang bersangkutan. Begitulah halnya sebuah sastra yang berkembang khususnya di Sumatera Barat. Tidak semua daerah yang masyarakatnya memiliki jiwa sastra yang antusias dan tidak semua daerah juga yang menganggap dan menjadikan sebuah bidang sastra merupakan hal yang pupuler. Tetapi pada dasarnya ada juga daerah-daerah lain yang terlibat penuh dengan sastra. Hanya saja kurang banyak orang yang terdeteksi oleh hal tersebut. Tanpa disadari bagi masyarakat Sumatera Barat terutama bagi kalangan pecinta sastra kebanyakan, sastra merupakan salah satu bidang yang populer. Kepopularitasan sastra akhirnya bukan menjadi barang yang baru lagi bukan pula menjadi sebuah polemik yang tiada berkesudahan.
Tak heran demikian karena menurut kenyataan dan yang sering diungkapkan orang yaitu bahwasannya sejak dahulu orang-orang di tanah minang memang pandai bersyair. Penilaian tersebut muncul dari kalangan yang bukan berasal dari ranah minang. Kesimpulan yang dapat diambil dari pernyataan tersebut yaitu sastra merupakan bidang yang telah mendarah daging bagi jiwa masyarakat ranah minang. Tak heran jika banyak sastrawan terkenal yang berasal dari ranah minang ini. Penulis pun pada dasarnya bukan merupakan atau bukanlah berasal dari tanah minang. Maka pemikiran awam yang awalnya muncul sama halnya dengan kebanyakan yang dinilai orang-orang bahwa orang minang pandai bersyair. Namun setelah penulis terjun langsung ke tanah asam padeh ini ternyata lebih dari yang sering didengar penulis, justru yang tampak oleh penulis yaitu kecintaan masyarakat minang kebanyakan terhadap sastra terhitung mulai dari kegemaran untuk menulis sebuah karya sastra sampai kesenangan mereka dalam membaca sebuah sastra. Ungkapan-ungkapan yang digunakan pun selalu sangatlah menarik dan bernilai. Salah satunya yaitu ungkapan “duduak samo randah, tagak samo tinggi”. Ungkapan tersebut jika dilihat sekilas hanyalah sebuah ungkapan pendek. Namun jika diartikan dengan makna sebenarnya, ungkapan di atas mengandung makna yang sangat tinggi nilainya.
Kepopuleran sastra yang ada di daerah minang akhirnya berkembang pesat. Terbukti dengan didirikannya sebuah tempat untuk menaungi bidang sastra seperti di Universitas Andalas Padang yang dikenal dengan nama Fakultas Sastra. Dalam fakultas sastra tersebut terdapat jurusan Sastra Sejarah, Sastra Indonesia, Sastra Minangkabau, Sastra Inggris. Bahkan Seiring perkembangnnya fakultas sastra menambahkan lagi bidang sastra Jepang yang akhirnya menjadi salah satu jurusan yang ditetapkan dalam fakultas sastra di Universitas Andalas Padang. Seiring perkembangan Fakultas Sastra yang sudah mencapai usia kategori lama tersebut, akhirnya nama Fakultas Sastra diganti menjadi Fakultas Ilmu Budaya (FIB). Hal tersebut menurut penulis dikarenakan sastra mengandung makna yang lebih khusus sedangkan budaya maknanya lebih luas, dan mengingat bahwa sastra itu sendiri merupakan bagian dari sebuah budaya.
Patut disyukuri dan diapresiasi bahwa Fakultas Sastra di Universitas Andalas Padang memiliki peminat yang tidak sedikit jumlahnya. Maka saat bakat kesusastraan muncul dalam diri seseorang, Universitas Andalas Padang diharapkan sangat mampu untuk berperan dalam mengembangkan bakat yang ada tersebut ketika seseorang memasuki kampus hijau ini. Alhasil, tidak sedikit alumni Universitas Andalas Padang khususnya yang berkecimpung pada bidang sastra yang namanya melambung setelah lulus dan mendapat bekal yang cukup. Ternyata Universitas Andalas cukup mampu menjembatani pribadi yang sungguh-sungguh ingin menekuni bidangnya khususnya sastra. Karena dengan bekal yang telah didapatkan tersebut, seseorang diharapkan mampu untuk mempergunakan dengan sebaiknya. Bukan untuk mencari lapangan pekerjaan, namun menjadi kreatif dan bahkan mampu menciptakan lapangan pekerjaan sendiri. Maka jika seseorang mampu mengambil celah dan memanfaatkan keahlian yang telah dimilikinya, akan banyak bermunculan ide-ide kreatif yang dipergunakannya dalam mencapai target-target yang ingin dicapainya.
Sastra yang menjadi salah satu ciri khas jiwa masyarakat minang akhirnya dengan sangat mudah menjalar pada jiwa-jiwa baru dan nantinya akan menjadi penerus yang membangun daerah ini. Sebuah realita lama yang membudaya bahwa kebiasaan yang ada pada orang tua biasanya juga akan diturunkan kepada anak-anaknya atau penerusnya tergantung pada anak itu sendiri akankah mengikuti apa yang diwariskan tersebut atau meninggalkannya demi sebuah cultur baru. Begitulah kiranya seorang pelaku sastra yang nantinya akan digantikan oleh penerus-penerus baru.
Menjadi pelaku sastra ternyata tidaklah semudah membalikkan telapak tangan tetapi tentu kita harus memiliki jiwa sastra terlebih dahulu kemudian muncul ide-ide hingga akhirnya barulah mengembangkannya menjadi sebuah karya. Tak urung pula sebuah karya tersebut nantinya selain dapat menjadi konsumsi sendiri tetapi juga dapat menjadi bahan konsumsi bagi khalayak umum. Namun tergantung pula pada hasil karya tersebut, pantaskah menjadi sebuah karya untuk santapan umum atau tidak. Jelasnya, sebuah karya yang terbentuk dari suatu pemikiran jika mampu memainkan imajinatif dengan kreatif maka akan menghasilkan karya yang memiliki nilai dan menarik minat baca khalayak.
Suatu karya yang sampai ke tangan konsumen lain dapat menjadi sebuah bahan bacaan sendiri dapat juga dipergunakan oleh pembaca yang mempunyai minat sastra sebagai bahan contoh suatu karya jika seandainya ingin mengembangkan bakat atau minat yang telah ada tersebut. Namun suatu karya yang dibaca hanyalah sebuah acuan bukan untuk dijiplak semaunya. Menjadi penulis sastra amatir telah banyak dipraktekan oleh sebagian orang yang hanya bermodalkan minat tanpa melalui pendidikan khsusus tentang sastra. Tidak menutup kemungkinan dengan banyaknya bermunculan karya-karya baru maka tanpa disadari terjadi pula polemik sastra atau perang pena diantara sesama pelaku sastra.
Sebuah karya yang bagus yaitu karya yang unik namun bersifat alamiah dan muncul berdasarkan apa yang dilihat serta realita apa yang berkembang di masyarakat. Pencitraan yang dituangkan dalam goresan tinta hingga menjadi sebuah karya. Ini bukan lagi membicarakan soal pendidikan sastra melalui teori, namun bagaimana menulis sebuah karya melalui hati langsung dengan prakteknya. Sebuah tulisan yang terbentuk dikemudian akan terlihat baik itu secara kualitas maupun kuantitasnya.

Seorang sastrawan untuk menumpahkan karyanya ke dalam sebuah kertas tidak selalu harus menunggu menjadi yang terhebat. Karena Al-Shafadi tetaplah Al-Shafadi (sastrawan ternama pada abad ke-8), menghasilkan banyak karya monumental dalam kesejarahan Islam. Tulisan kita tetaplah tulisan kita yang buah fikirannya bersumber dari fikiran kita sesuai dengan tatanan kehidupan yang ada pada masa kita sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar