ANAK
JALANAN DI KOTA PADANG
by: Yuliarni
fenomena anak jalanan ketika yang berrdasi tertawa
Sebuah realita lama
yang ada difikiran masyarakat pada umumnya yang tidak jarang menganggap anak
jalanan atau yang umum disingkat dengan Anjal sebagai sampah masyarakat,
pengganggu ketenangan masyarakat bahkan berandal jalanan. Iya, memang demikian
kenyataannya namun tidak semua anak jalanan termasuk kategori yang demikian.
secara tidak sadar ternyata dalam dunia per anjalan mengenal juga
golongan-golongan yang menjadi pembeda antara anjal yang satu dengan anjal yang
lain. Serta Alasan-alasan untuk menekuni
bidangnya sebagai anjal pun sangatlah bervariasi. Demikian kenyataan yang
sering muncul. Anjal yang identik dengan kota, pengamen, peminta-minta atau pengemis
pada dasarnya memiliki tempat-tempat strategis untuk melancarkan aksinya.
Seperti lampu merah, jembatan penyeberangan,di bus-bus kota, pasar-pasar
tradisonal dan tempat-tempat lainnya yang menjadi pilihan dan dianggap
strategis bagi mereka. Tidak hanya itu, anjal juga identik dengan
tampilan-tampilan aneh seperti pakaian yang kotor, celana yang sobek di lutut,
rambut yang dibuat dengan bentuk yang ber ala anak funk, ada juga yang memakai
anting dan ada juga yang biasa-biasa saja. Semuanya tidak lepas dari ligkungan
anjal yang diikutinya. Seperti yang dijelaskan di atas bahwasaannya secara
tidak sadar dalam dunia anjal juga mengenal golongan atau kelompok masing-masing.
Selain itu mereka ada yang berkelompok ada juga yang sendiri. Namun yang
terkadang sering ditemui adalah berkelompok-kelompok. Ada juga satu yang
ditugaskan untuk menjalankan aksi sedangkan yang lain sebagai pengawas yang
akhirnya nanti hanya menerima uangnya tanpa ikut menjalankan tugas.
Tidak seperti kota-kota
lain yang sering ditemui, kota padang termasuk salah satu dari banyak kota-kota
yang ada di Indonesia yang memiliki jumlah anjal dengan kuantitas kategori
sedikit. Hanya di setiap lampu merah saja yang sering muncul, dan itupun tidak
pada setiap lampu merah yang ada di kota Padang. Lain halnya dengan kota-kota
seperti kota Jakarta, Bandung dan Palembang yang pernah dikunjungi penulis yang
menampung kuantitas anjal dengan jumlah yang relatif banyak. Hal tersebut dapat
juga dipengaruhi oleh bagaimana besarnya kota tersebut kemudian makin banyak
pula penduduknya. Nampak perbandingan seperti kota Jakarta lebih banyak
terdapat anjal dibandingkan dengan di kota Palembang. Demikian juga di kota Palembang
yang lebih besar daripada kota Padang, lebih banyak juga memiliki jumlah anjal
yang tersebar di berbagai sudut kotanya.
Akhirnya beberapa pertanyaan
kolot datang lagi, siapa sebenarnya anjal? Darimana munculnya mereka? Tahukah
kita bagaimana kehidupan mereka? Kenalkah pemerintah dengan kasta yang
tergolong proletar ini? Pertanyaan-pertanyaan yang saya rasa tidak perlu
dijawab secara gamblang. Cukup rasakan dan saksikan realitanya yang secara
terang-terangan telah muncul ke permukaan. Saat saya bertanya kepada masyarakat
mengenai bagaimana eksistensinya anak jalanan, bagaimana sebenarnya kehidupan
mereka, muncul variasi dalam setiap jawaban. Salah satunya menurut Lina yang
merupakan mahasiswa sastra Jepang Universitas Andalas, “Saya rasa kehidupan
anak jalanan itu sangat keras, dan saya memandangnya dari dua sisi. Pertama,
anak jalanan itu ada yang memang mengganggu. Kedua, mereka memang benar-benar
melakukan aksinya di jalan dengan mengamen itu untuk mencari uang. Pernah waktu
itu saya lagi duduk, terus ada adek-adek yang meminta uang secara paksa
terhadap saya. Nah, yang seperti itulah yang menurut saya mengganggu.” Jelas
Lina. Sebenarnya kebijakan dalam menyikapi tentang eksistensi anak jalanan di
permukaan inilah yang seharusnya dimiliki oleh setiap mata insan.
Kehidupan yang lebih
baik tidak pula menjamin seseorang memiliki jiwa patriotisme dan sosialisme
tinggi. Bahkan, mereka (anjal) ada yang lebih sempurna berfikirnya untuk
kehidupan. Menurut bang Ade yang merupakan ketua dari salah satu kelompok anak
jalanan, “Kami disini mampu mencari nafkah sendiri, jujur saya sangat anti
dengan pemerintah jadi kami tidak perlu pemerintah. Malahan kami cukup senang
untuk membantu jika ada yang meminta sumbangan untuk sebuah bantuan” ungkap
bang Ade sewaktu saya temui di salah satu lampu merah di kota Padang. Dan
menurut teman yang lain ketika saya tanya tentang ancaman dari petugas
keamanan, “Saat ada penertiban dari Sat. Pol. PP, seandainya kami sedang
mengamen maka akan ditangkap dan gitar yang dipakai akan diambil. Tapi
penangkapan itu hanya dilakukan selama dua jam, setelah itu kami akan
dilepaskan kembali”. Tungkasnya tenang.
Sangat unik bukan? Dalam banyak hal yang
seharusnya dilakukan pihak berwenang, hanya secuil tindakan yang dilakukan.
Entah untuk apa rampasan gitar itu mereka lakukan jika bukan untuk melukai hati
para proletar. Sebuah luka bagi si proletar, namun sebuah tawa bagi mereka yang
berpura-pura berwibawa itu.
Seharusnya pemerintah
tidak perlu merasa yakin bahwa keberadaan mereka sangat diagungkan, bahkan anak
jalanan yang kasarnya berasal dari kasta terendah pun enggan untuk menengadah
tangannya di depan mereka para pemerintah. Pernyataan bang Ade di atas cukup
mencengangkan bagi saya. Dengan jiwa yang anti pemerintah serta jiwa sosial
yang tinggi belum tentu dimiliki oleh kita yang memliki kehidupan yang lebih
baik dari mereka para anjal. Penertiban dilakukan namun tanpa tindakan yang
berarti. Ketidakadilan dari pemerintah dianggap hal yang fatal bagi mereka.
Menimbulkan rasa iba terhadap pemerintah yang miskin kejujuran dan kaya
kemunfikan. Bukankah seharusnya pemerintah tak luput dari surat-surat dalam Al
Qur’an yang jelas-jelas diturunkan untuk manusia yang katanya sempurna ini.
Salah satunya yang terdapat dalam surat An-Nisa ayat 58 yang artinya:
“Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan
dengan adil”
Untuk sekedar diketahui
bahwasannya berbagai masalah muncul diakibatkan oleh satu hal, yaitu
kepercayaan yang disia-siakan. Dalam ayat di atas, Allah menyuruh manusia agar
memenuhi kepercayaan yang diberikan dan bertindak adil dalam segala hal,
termasuk memutuskan perkara. Kata al-amanah ‘kepercayaan’ dan al-‘adl
‘keadilan bersifat saling menafikan. Artinya, jika amanat dilaksanakan dengan
baik, keadilan tidak diperlukan karena keadilan terwujud dengan sendirinya.
Sebaliknya, apabila amanat disia-siakan maka penegakan keadilan diperlukan
karena ketimpangan dan ketidakadilan akan merajalela.
Dalam kaitan tersebut,
seolah-olah Tuhan berfirman, “Laksanakan kepercayaan yang diberikan kepadamu
agar kamu tidak menjadi bagian dari masalah yang merepotkan sesamamu”. Betapa
amannya kehidupan jika benar seperti yang terdapat dalam ayat tersebut.
Pahamkah pemerintah dengan semua itu, sangat perlu dipertanyakan.
Sebenarnya dialog
antara mahasiswa langsung dengan kepala pemerintah tidak terlalu sulit untuk
dipahami. Dalam sebuah konteks, gagasan itu mencerminkan dua hal. Pertama, suara hati mereka ingin dapat
didengar langsung oleh kepala pemerintah. Kedua,
sebaliknya para mahasiswa juga ingin mendengarkan langsung jawaban dari kepala
pemerinrtah tentang harapan-harapan mereka.
Para proletar seperti
anak jalanan, bukanlah barang langka di muka bumi ini. Hanya peran
pemerintahlah yang mereka anggap langka untuk memikirkan nasib jiwa-jiwa yang
kelaparan ini. Bukannya mata mereka tertutup tetapi hati mereka yang telah
dipenuhi virus katarak sehingga tidak mampu menilik wong cilik.
Artikel
by:Yuliarni Ole
(Student
of Andalas University)
9 September 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar