JIWA-JIWA SASTRA DI MINANG
Oleh:Yuliarni
Artikel: 03 Januari 2014
( mahasiswa Sejarah Universitas Andalas)
Artikel: 03 Januari 2014
( mahasiswa Sejarah Universitas Andalas)
Setiap
wilayah atau daerah tentu memiliki banyak kekhasan bagi derahnya sendiri.
Kekhasan yang dimiliki daerah tertentu muncul dari sebuah kebiasaan yang pada
akhirnya membudaya bahkan menjamur pada masyarakatnya dan barulah menjadi ciri
khas bagi daerah yang bersangkutan. Begitulah halnya sebuah sastra yang berkembang
khususnya di Sumatera Barat. Tidak semua daerah yang masyarakatnya memiliki
jiwa sastra yang antusias dan tidak semua daerah juga yang menganggap dan
menjadikan sebuah bidang sastra merupakan hal yang pupuler. Tetapi pada
dasarnya ada juga daerah-daerah lain yang terlibat penuh dengan sastra. Hanya
saja kurang banyak orang yang terdeteksi oleh hal tersebut. Tanpa disadari bagi
masyarakat Sumatera Barat terutama bagi kalangan pecinta sastra kebanyakan,
sastra merupakan salah satu bidang yang populer. Kepopularitasan sastra
akhirnya bukan menjadi barang yang baru lagi bukan pula menjadi sebuah polemik
yang tiada berkesudahan.
Tak
heran demikian karena menurut kenyataan dan yang sering diungkapkan orang yaitu
bahwasannya sejak dahulu orang-orang di tanah minang memang pandai bersyair.
Penilaian tersebut muncul dari kalangan yang bukan berasal dari ranah minang. Kesimpulan
yang dapat diambil dari pernyataan tersebut yaitu sastra merupakan bidang yang
telah mendarah daging bagi jiwa masyarakat ranah minang. Tak heran jika banyak
sastrawan terkenal yang berasal dari ranah minang ini. Penulis pun pada
dasarnya bukan merupakan atau bukanlah berasal dari tanah minang. Maka
pemikiran awam yang awalnya muncul sama halnya dengan kebanyakan yang dinilai
orang-orang bahwa orang minang pandai bersyair. Namun setelah penulis terjun
langsung ke tanah asam padeh ini
ternyata lebih dari yang sering didengar penulis, justru yang tampak oleh
penulis yaitu kecintaan masyarakat minang kebanyakan terhadap sastra terhitung
mulai dari kegemaran untuk menulis sebuah karya sastra sampai kesenangan mereka
dalam membaca sebuah sastra. Ungkapan-ungkapan yang digunakan pun selalu
sangatlah menarik dan bernilai. Salah satunya yaitu ungkapan “duduak samo randah, tagak samo tinggi”.
Ungkapan tersebut jika dilihat sekilas hanyalah sebuah ungkapan pendek. Namun
jika diartikan dengan makna sebenarnya, ungkapan di atas mengandung makna yang
sangat tinggi nilainya.
Kepopuleran
sastra yang ada di daerah minang akhirnya berkembang pesat. Terbukti dengan
didirikannya sebuah tempat untuk menaungi bidang sastra seperti di Universitas
Andalas Padang yang dikenal dengan nama Fakultas Sastra. Dalam fakultas sastra
tersebut terdapat jurusan Sastra Sejarah,
Sastra Indonesia, Sastra Minangkabau, Sastra Inggris. Bahkan Seiring
perkembangnnya fakultas sastra menambahkan lagi bidang sastra Jepang yang akhirnya menjadi salah satu jurusan yang
ditetapkan dalam fakultas sastra di Universitas Andalas Padang. Seiring
perkembangan Fakultas Sastra yang sudah mencapai usia kategori lama tersebut,
akhirnya nama Fakultas Sastra diganti menjadi Fakultas Ilmu Budaya (FIB). Hal
tersebut menurut penulis dikarenakan sastra mengandung makna yang lebih khusus
sedangkan budaya maknanya lebih luas, dan mengingat bahwa sastra itu sendiri
merupakan bagian dari sebuah budaya.
Patut
disyukuri dan diapresiasi bahwa Fakultas Sastra di Universitas Andalas Padang memiliki
peminat yang tidak sedikit jumlahnya. Maka saat bakat kesusastraan muncul dalam
diri seseorang, Universitas Andalas Padang diharapkan sangat mampu untuk
berperan dalam mengembangkan bakat yang ada tersebut ketika seseorang memasuki kampus hijau ini. Alhasil, tidak sedikit
alumni Universitas Andalas Padang khususnya yang berkecimpung pada bidang sastra
yang namanya melambung setelah lulus dan mendapat bekal yang cukup. Ternyata
Universitas Andalas cukup mampu menjembatani pribadi yang sungguh-sungguh ingin
menekuni bidangnya khususnya sastra. Karena dengan bekal yang telah didapatkan
tersebut, seseorang diharapkan mampu untuk mempergunakan dengan sebaiknya.
Bukan untuk mencari lapangan pekerjaan, namun menjadi kreatif dan bahkan mampu
menciptakan lapangan pekerjaan sendiri. Maka jika seseorang mampu mengambil
celah dan memanfaatkan keahlian yang telah dimilikinya, akan banyak bermunculan
ide-ide kreatif yang dipergunakannya dalam mencapai target-target yang ingin
dicapainya.
Sastra
yang menjadi salah satu ciri khas jiwa masyarakat minang akhirnya dengan sangat
mudah menjalar pada jiwa-jiwa baru dan nantinya akan menjadi penerus yang
membangun daerah ini. Sebuah realita lama yang membudaya bahwa kebiasaan yang
ada pada orang tua biasanya juga akan diturunkan kepada anak-anaknya atau
penerusnya tergantung pada anak itu sendiri akankah mengikuti apa yang
diwariskan tersebut atau meninggalkannya demi sebuah cultur baru. Begitulah
kiranya seorang pelaku sastra yang nantinya akan digantikan oleh
penerus-penerus baru.
Menjadi
pelaku sastra ternyata tidaklah semudah membalikkan telapak tangan tetapi tentu
kita harus memiliki jiwa sastra terlebih dahulu kemudian muncul ide-ide hingga
akhirnya barulah mengembangkannya menjadi sebuah karya. Tak urung pula sebuah
karya tersebut nantinya selain dapat menjadi konsumsi sendiri tetapi juga dapat
menjadi bahan konsumsi bagi khalayak umum. Namun tergantung pula pada hasil
karya tersebut, pantaskah menjadi sebuah karya untuk santapan umum atau tidak.
Jelasnya, sebuah karya yang terbentuk dari suatu pemikiran jika mampu memainkan
imajinatif dengan kreatif maka akan menghasilkan karya yang memiliki nilai dan
menarik minat baca khalayak.
Suatu
karya yang sampai ke tangan konsumen lain dapat menjadi sebuah bahan bacaan
sendiri dapat juga dipergunakan oleh pembaca yang mempunyai minat sastra
sebagai bahan contoh suatu karya jika seandainya ingin mengembangkan bakat atau
minat yang telah ada tersebut. Namun suatu karya yang dibaca hanyalah sebuah
acuan bukan untuk dijiplak semaunya. Menjadi penulis sastra amatir telah banyak
dipraktekan oleh sebagian orang yang hanya bermodalkan minat tanpa melalui
pendidikan khsusus tentang sastra. Tidak menutup kemungkinan dengan banyaknya
bermunculan karya-karya baru maka tanpa disadari terjadi pula polemik sastra
atau perang pena diantara sesama pelaku sastra.
Sebuah
karya yang bagus yaitu karya yang unik namun bersifat alamiah dan muncul
berdasarkan apa yang dilihat serta realita apa yang berkembang di masyarakat.
Pencitraan yang dituangkan dalam goresan tinta hingga menjadi sebuah karya. Ini
bukan lagi membicarakan soal pendidikan sastra melalui teori, namun bagaimana
menulis sebuah karya melalui hati langsung dengan prakteknya. Sebuah tulisan
yang terbentuk dikemudian akan terlihat baik itu secara kualitas maupun kuantitasnya.
Seorang
sastrawan untuk menumpahkan karyanya ke dalam sebuah kertas tidak selalu harus
menunggu menjadi yang terhebat. Karena Al-Shafadi tetaplah Al-Shafadi
(sastrawan ternama pada abad ke-8), menghasilkan banyak karya monumental dalam
kesejarahan Islam. Tulisan kita tetaplah tulisan kita yang buah fikirannya
bersumber dari fikiran kita sesuai dengan tatanan kehidupan yang ada pada masa
kita sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar