HARAPAN
UNTUK CICIT:
SEBUAH PELAJARAN DARI SI CACAT
SEBUAH PELAJARAN DARI SI CACAT
By
: Yuliarni Ole
(penikmat sastra)
Di sebuah dusun kecil yang bernama dusun
Tanjung Pinang nan jauh dari keramaian kota, dengan jejeran rumah panggung yang
tinggi sebagai ciri khas rumah adat di Sumatera Selatan umumnya, pemandangan
rerumputan yang menghijau. Di sana pula tempat hidup seorang wanita cacat yang
telah selama hidupnya hanya untuk bertahan bertahan dan bertahan, berjuang
berjuang dan berjuang serta ikhlas ihklas dan tetap ihklas.
* Senyuman ikhlas di balik ketabahan *
Pagi ini seperti biasanya cerah dan
secangkir teh hangat selalu bersedia menghampiri tenggorokan mengisi keringnya
mulut setelah beberapa jam menyelesaikan kegiatan rutin di malam hari bersama
sang bantal dan tuan kasur. Aku yang waktu itu sengaja menyempatkan hari
liburan untuk berkunjung ke rumah nenek cukup menikmati indahnya pagi di dusun
tercinta nenek. Seketika pandangan terarahkan pada sesosok wanita setengah
dewasa yang terengah-engah keletihan setelah menyusuri dinginnya lantai rumah
yang ditempatinya bersama nenek. Begitu pahit kehidupanmu cit, pernahkah engkau
mengeluh untuk menuntut kelebihan kepada Tuhan cit? tanyaku dalam hati.
Bagaimana engkau mampu menjalaninya
selama berpuluh-puluh tahun ini. Inikah kelebihan yang diberikan tuhan
kepadamu?sebuah ketabahan yang tiada batasnya. Terenyuh hatiku melihat dikala
engkau kesusahan untuk makan , aroma iba selalu tercium dari tubuhku tatkala
melihat engkau mengesot-ngesot dilantai dengan sekuat tenaga untuk mendatangi
ruang tamu, sungguh rahasia apa yang tersimpan dibalik semua ini. Hanya sebuah
harapan yang mampu aku transfer untuk memberi makna bahwa berartinya hidupmu.
Banyak insan yang sempurna di dunia tapi hati penuh dengan kekurangan. Cinta
ini untukmu cit, sebuah ungkapan yang tak tau harus bagaimana aku
menyampaikannya. Mengertikah ia dengan ucapanku? Pahamkah dia maksud senyumku?
Tak jarang aku mendengar kata-kata yang kau ucapkan, “umak, bak, anto, eyek,
tedi, eik-eik, tak uit”. Yah, hanya kata-kata itu yang keseringan mampu engkau
ucapkan selama umur hidupmu bahkan dikala umurmu yang sekarang sudah tidak muda
lagi.
Tak henti-henti pula agaknya
kemalanganmu ketika engkau harus dihadapkan dengan himpitan ekonomi dalam
keluarga yang kau juga harus terlibat di dalamnya menikmati kesusahan itu. Tak
jarang pula ada orang yang jijik ketika mencium aroma tubuhmu yang tak enak
untuk dirasai baunya itu.
* Sebuah
pelajaran berharga *
Sesungguhnya jika mereka tahu bahwa
mengenalmu adalah anugrah terbesar dalam hidup. Karena disanalah sebuah
pelajaran hidup tergambar, sebuah kesempurnaan nyata yang tidak dimiliki oleh
setiap orang ketika melihat tabahnya dan putihnya hatimu itu. Sebuah harapan
besar bagi orang yang fisiknya melebihi dirimu untuk tidak mengeluhkan nasibnya
karena tersadar bahwa di bawah masih banyak yang kurang dari dia.
Apa sebenarnya yang membuatmu tetap
bertahan hidup cit, emas model apakah yang sekarang tertanam di hatimu sehingga
tak dapat menggoyahkan semangatmu untuk tetap menjalani hidup walaupun pahitnya
hidup yang engkau hadapi. Pernahkah engkau berfikir untuk berjalan dan berlari
layaknya makhluk ciptaan Tuhan yang lainnya, insan yang tiada pernah puas yang
walaupun demikian banyak kelebihan yang dititipkan Tuhan untuk mereka.
Sebuah kata-kata yang kiranya dapat
engkau dengar dan engkau mengerti adalah hidup
itu indah. Walau bagaimanapun keadaanmu tetap saja hidup itu indah bagimu,
mentari siang dan bulan malam sepertinya telah engkau rasa puas untuk dilihat
tanpa melihat keindahan yang lainnya lagi.
Bagimu hidup hanyalah menanti siang
setelah malam, menanti malam setelah siang. Menunggu makanan setelah merasai
lapar, menanti kenyang setelah makan. Tersenyum ramah dikala mendengar canda
dan mendapati tangisan jikalau bersedih. Itu, itu saja hidup bagimu karena
cacat fisikmu yang engkau derita semua serba terbatas. Namun seperti bahagia
pula perjalanan hidupmu walaupun hanya dengan semua kekurangan itu yang engkau
miliki.
Banyak pembelajaran bagi manusia lain
jika berjumpa denganmu cit, pengaruhmu bahkan mampu menyaingi sosok Hitler yang
mampu memberikan ideologinya dengan memekik di keramaian. Tetapi dengan
susahnya engkau berbicara dengan hanya diamnya kau namun selalu berusaha untuk
menggerakkan tubuhmu walaupun sulit untuk sesuatu yang ingin engkau ambil
tetapi lebih dari ideologi yang didapatkan seseorang namun nilai moral dan
nilai keikhlasan.
Sejenak terlihat olehku tempat-tempat
yang kau tuju sangat mudah untuk ditebak. Dapur, ruang tamu, dapur ruang tamu,
dapur ruang tamu. Hanya itulah tempat sejauh-jauhnya tempat yang pernah engkau
kunjungi semasa hidupmu hingga sekarang ini. Masihkah berbahagia seorang tua
yang dengan ikhlas pula merawatmu, yang dengan kemampuan sedikitnya ia selalu
luangkan waktu untuk menyuapimu nasi, menyuruhmu tidur dan mengurut badanmu.
Dialah sosok yang paling kau kenangi kau panggili dan bahkan ketika kesal kau
teriaki. Maaaaaaaakkkkk........itulah yang kerap kau panggilkan untuk insan
mulia yang telah ikhlas merawatmu itu.
“We..kesian
ok dengan cicit, nye dektau nek ngapelah.”. Demikian kata seorang yang berasal
dari Pulau Bangka ketika melihat pemandangan itu. dikala anak-anak kecil
berlarian karena takut melihat sosoknya dengan mengesot-esot di lantai, ketika
anak-anak kecil mulai memberi sedikit ejekan sebagai pelengkap kemalangannya,
disanalah senyumnya terpancar. Sungguh sekali lagi sebuah ketabahan yang tiada
muaranya.
* Sebuah bingkisan doa *
Tangisan bagimu adalah suatu kekurangan
hidup dan senyuman adalah sebuah anugrah Tuhan. Yakinku bahwa ada sebuah harapan
yang ingin kau sampaikan lewat ikhlasnya senyummu, ada sebuah harapan yang
ingin kau lakukan sendiri lewat esotan lembutmu di lantai.
Pagi itu cicit bangun lebih awal dan
seperti biasanya suara yang kuat namun kurang begitu jelas dilontarkannya. “maaaaaakk.....umaaaakkk...”
teriaknya. Terdengar suara lembut menyambut teriakan itu, “iyo nak...
ngapo...umak di siko” jawab perempuan tua yang kerap disapa mak oleh cicit.
“umaaakkkk...maakkk...” terdengar lagi panggilan dari cicit. “iyo
sayangku..ngapo..., kagi makan yo nak..” kembali jawaban yang dilontarkan oleh
perempuan yang tidak muda lagi itu.
Menjelang jamnya pun seperti biasanya
cicit disuapi makan oleh orang yang kerap disapanya mak itu. Tanpa henti dan
telah menjadi rutinitas setiap harinya seperti itulah kira-kira gambarannya.
Mak yang merawat cicit dengan usia yang renta itu pun tanpa bosannya menghadapi
rutinitas kesehariaanya itu bersama cicit salah satu anaknya tercinta.
Sebuah pelajaran juga yang hampir lupa
aku torehkan dalam tulisan ini. Alangkah sikap pekerja kerasnya yang
digambarkan cicit melalui jalan kepahitan hidupnya, yang walaupun susahnya
untuk mengesot di lantai demi mendapati sebuah dapur atau ruang tamu, namun
tiada pernah ia mengeluh dan meminta bantuan seseorang untuk menggiringnya ke
tempat tujuannya. Yang walaupun debu hitam di lutut senatiasa menghinggapinya
dikala ia menarik badannya dengan tangan kemudian disusul dengan kaki itu namun
tiada pula terdengar olehku tangisan keputusasaan darinya. Sebuah majas
hiperbola namun memang patut untuk disampaikan kepadamu adalah “kamu berhati emas yang paling mahal yang
adanya emas itu cuma di surga yang khusus dibuatkan Tuhan untuk orang istimewa”.
Berbahagialah selalu cit, semoga yang
terbaik senantiasa menjamahmu dan semoga kesehatan senantiasa menghinggapimu.
Terimakasih sang penginspirasi, semoga cicit-cicit lainnya juga dapat dan
selalu berhati emas sepertimu.
Inspired
from Cicit, seorang cacat berhati emas
29 September 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar